#9 Insulation

210 45 12
                                    

(Halo, jangan lupa klik tanda bintang untuk vote cerita ini ya)

***

Tak butuh waktu lama bagi Runi untuk mengusir kecanggungan kala berbicara dengan Kamila. Wanita paruh baya itu begitu ramah dan pandai membangun suasana. Diawali dengan pujian pada sketsa yang gadis itu hadiahkan, lalu berlanjut pada obrolan ringan tentang komik Runi yang terinspirasi dari folklor lokal. Mereka pun asyik mengobrol sampai lupa waktu. Baru berhenti ketika azan Asar berkumandang

Untung saja ada Anita yang turut bergabung bersama mereka, menemani Kenar berbincang sehingga tak merasa tersisih di antara Runi dan Kamila. Bertanya-tanya tentang pekerjaan Kenar, sekadar berbasa-basi mengisi waktu bersama.

"Kenapa Runi nggak ambil jurusan seni aja? Atau sastra? Biar nyambung sama kerjaan?"

Gadis itu cengengesan ketika mendengar pertanyaan Kamila. "Waktu itu ikut-ikutan temen aja, Tante. Awalnya Runi ngegambar karena hobi aja, nggak nyangka kalau ternyata bisa jadi pekerjaan. Dulu kan belum booming platform komik online. Sekarang udah nanggung mau ganti jurusan. Tinggal skripsi aja, sayang kalau nggak dikelarin."

"Nggak ada salahnya belajar ekonomi, Ma. Kan ilmunya bisa bermanfaat juga di kehidupan sehari-hari." Kenar ikut nimbrung dalam percakapan.

"Ya deh. Lupa Tante kalau ada dosen ekonomi di dekat kita." Kamila terkekeh. "Tapi Runi udah nggak ada kelas lagi ya? Berarti nggak sempat ngerasain diajarin si Kenar. Padahal tante penasaran, dia kalau di kelas kayak gimana. Suka tebar pesona sama mahasiswi apa nggak."

"Kalau Mas Kenar, tanpa tebar pesona, kayaknya mahasiswi juga banyak yang ngefans, Tante. Soalnya di kampus Runi itu dosennya kebanyakan senior, jarang yang masih muda dan ganteng kayak Mas Ke—" Gadis itu tak melanjutkan kalimatnya. Kedua telapaknya refleks naik menutup mulut. Lagi-lagi terjadi. Lidahnya lebih cepat bergerak daripada otaknya. Bisa-bisanya dia keceplosan memuji Kenar seperti itu.

Kamila melirik putranya yang tampak salah tingkah mendengar pujian Runi. "Iya. Kenar memang anak tante yang paling ganteng. Cuma sayang belum laku aja sampai sekarang. Runi ada teman yang bisa dijodohin ama Kenar, nggak?" Wanita itu berusaha mengalihkan pembicaraan agar Runi tak merasa canggung.

"Ma. Apa-apaan sih?" protes Kenar sambil menepuk punggung lengan ibunya. Wajah Kenar merah padam karena malu.

Anita yang sejak tadi diam, menyimpul senyum. Beberapa kali dia bertukar pandang dengan Kamila. Tanpa perlu saling bicara, kedua wanita itu telah mencapai satu pemahaman yang sama.

"Nanti coba saya carikan yang cocok sama Mas Kenar, Tante." Gadis itu menoleh pada lelaki muda yang sedang dibicarakan. "Emangnya tipe Mas Kenar yang seperti apa? Pasti yang dewasa dan feminin ya?"

Kenar ingin sekali menjawab, dia tak ingin Runi mencarikan gadis lain. Runi-lah yang dia butuhkan. Namun, trauma masa lalu masih meniupkan rasa ragu, mencegah lelaki itu jujur akan perasaannya. Kenar belum siap menghadapi konsekuensi terburuk. Kenar takut kejujurannya hanya akan meembuatnya kehilangan kesempatan bersama gadis itu.

"Jangan didengerin omongan mama saya, Runi. Saya nggak seputus asa itu sampai harus dicariin jodoh sama orang lain," jawab Kenar dengan ekspresi datar. Sekuat tenaga berusaha disembunyikannya isi hati. Sungguh lelaki itu tak ingin Runi mengetahui rasa yang tengah dipendamnya sejak perkenalan mereka.

Kamila menangkap getir kecewa dari suara putranya. Kini, dia yakin, Kenar memang menyukai gadis di hadapannya itu. Ada rasa lega yang hinggap di hati Kamila ketika sang putra akhirnya jatuh cinta lagi, tapi juga cemas karena dia belum tahu sejauh apa luka hati Kenar berhasil sembuh.

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang