#16 Inclination

148 38 6
                                    

Langkah Kenar terhenti kala melihat pintu depan rumah Runi terbuka lebar. Saat hendak ke minimarket tadi, seingatnya pintu itu masih tertutup rapat. Apakah Runi sedang ada di rumah? Bukannya gadis itu sedang menunggui sang bunda di rumah sakit?

Khawatir ada orang tidak bertanggung jawab yang berusaha membobol rumah Runi, Kenar pun berbelok ke teras rumah Runi. Diketuknya daun pintu dengan cukup keras sambil mengucap salam.

"Runi! Kamu ada di rumah?"

Seraut wajah yang Kenar kenal muncul dari balik pintu dapur.

"Runi masih di rumah sakit, Mas," kata gadis itu. "Aku cuma bantuin ngecek kulkas, buang-buangin bahan makanan yang sudah nggak layak konsumsi."

Mala menemui Kenar sambil menenteng kantung sampah. Jilbab kaos yang dia kenakan tampak kusut dan kucel. Tadi, dia sekalian membersihkan debu di rumah itu.

"Jadi, yang nyalain lampu tiap sore itu kamu?" tanya Kenar sambil membuntuti Mala ke luar. Awalnya, dia pikir lampu depan rumah Runi menyala otomatis setiap sore.

"Iya. Runi kasih kuncinya ke aku, soalnya aku sering mondar-mandir ambil baju bersih buat dia dan Bu Lik Anita." Mala meletakkan kantung yang dibawanya ke dasar tempat sampah yang terletak di ujung gang. "Sebenarnya, Runi bilang biar lampunya nyala aja terus. Tapi, aku pikir sayang energinya terbuang. Jadi, sebelum berangkat kerja aku mampir dulu buat matiin lampu. Nanti, pulang kerja aku nyalain lagi. Toh, kontrakanku enggak jauh juga dari sini."

Kenar melayangkan pandangan ke halaman rumah Runi yang kosong. "Kok, saya nggak lihat motor kamu, Mal? Kamu naik apa ke sini?"

Gadis itu malah terkekeh. "Motorku lagi di bengkel. Selama ini, akinya kan emang soak, tapi masih bisa diakalin. Nah, tadi pagi, sama sekali nggak mau nyala. Jadinya ya terpaksa aku bawa ke bengkel. Aku ke sini diantar temanku."

Kenar membentuk bulatan dengan mulutnya. "Ada yang bisa saya bantu, nggak?" tawar Kenar sembari mengintip ke dalam rumah Runi.

"Apa ya ... nggak ada kayaknya. Tadi, aku cuma beres-beres sedikit aja, sekalian ambil baju bersih buat Runi."

"Kamu mau ke rumah sakit?"

"Iya. Runi sudah kehabisan baju bersih katanya. Dia nggak berani ninggalin Bu Lik." Sorot mata Mala menyiratkan rasa cemas. "Padahal, aku sudah bilang biar sesekali aku yang gantiin jaga Bu Lik. Biar dia bisa pulang dulu, atau ke mana dulu gitu, kek. Dua minggu di rumah sakit terus, apa nggak suntuk. Aku takut dianya juga ikutan sakit."

"Ya sudah. Kamu mau ke rumah sakit kapan?"

Mala menatap langit yang mulai kemerahan. "Sekalian nunggu Maghrib kayaknya, Mas. Aku belum nyiapin baju Runi."

"Kalau gitu biar saya antar. Dari kemarin, saya juga belum sempat jenguk Bu Anita."

"Oke, Mas." Mala memperhatikan Kenar dengan saksama. "Ngomong-ngomong, Mas Kenar itu beneran suka Runi, ya?"

Pertanyaan Mala membuat Kenar tergemap. Segera dipalingkannya wajah ke jalan begitu dirasakan kedua pipinya memanas.

"Nggak usah dijawab, Mas." Mala tergelak. "Aku cuma mau memastikan aja."

-AmelA-

Gama memandangi layar komputernya. Dia baru saja menyelesaikan pembayaran untuk tiket kepulangannya ke Indonesia minggu depan. Dia baru saja mengirimkan shortlist finalis kepada Manajer Kim. Setelah pria itu memberikan keputusan, Gama hanya perlu meneruskan daftar kepada para juri dan menunggu hasil penilaian. Begitu juri telah memilih pemenang, dia dapat menyerahkan sisanya kepada Angela dan rekannya yang lain.

"Makan dulu, Gama-ssi," ucap Angela yang tanpa Gama sadari memperhatikannya sejak tadi. Gadis itu meletakkan sebungkus kebab di hadapan Gama. "Bagaimana kabar calon mertuamu?

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang