(Halo. Kalau kamu suka cerita ini. Jangan lupa klik tanda bintang di bagian bawah untuk mendukung cerita ini ya)
***
Runi tersenyum lebar saat melihat kedua anak Bu Broto sudah rapi dan wangi. Tak mudah membujuk mereka bersiap-siap. Ada saja alasan mereka untuk menunda. Runi sampai harus menelepon Bu Broto agar anak-anak itu mau mandi.
Baju Devan dan Desi telah terkemas rapi dalam tas jinjing. Anita yang menyiapkannya saat Runi sibuk membujuk kedua kakak beradik itu makan siang.
Suara mobil terdengar dari luar, tak lama kemudian pintu depan diketuk pelan. Senyum di wajah Runi akhirnya memudar. Dia lupa satu hal menyebalkan yang harus dihadapi siang itu, yaitu mengantar kedua anak Bu Broto bersama Kenar.
Andai perjumpaan pertama mereka terjadi secara normal, Runi akan lebih mudah bersikap wajar di depan Kenar. Masalahnya ... Ah, membayangkan kejadian kemarin saja sudah membuat Runi kesal.
Dia sudah berusaha menghapus peristiwa memalukan itu dari memorinya, tapi entah kenapa selalu gagal. Semakin dia coba melupakan, semakin kuat ingatan itu menempel di kepala, membuat Runi semakin uring-uring.
Anita menyambut Kenar dengan ramah dan mempersilakannya masuk. Runi buru-buru menyusul ke depan ketika ibunya menawarkan minum pada tetangganya itu.
"Kami langsung berangkat saja, Bun. Biar nggak kesorean. Anak-anak juga sudah siap," cegah gadis itu. Dia tak ingin lelaki itu terlalu akrab dengan sang ibu. Runi benar-benar ingin membatasi pergaulan dengan tetangga barunya itu. Rasa tak nyaman selalu muncul tiap kali Kenar ada di dekatnya.
"Devan duduk di sebelah Om Kenar ya," perintah Runi. Bocah itu bersorak kegirangan, dia memang sangat ingin duduk di depan.
Kenar menyimpan tas jinjing di bagian belakang mobil, sementara Runi menempati kursi tengah bersama si bungsu Desi.
"Hati-hati di jalan ya, Devan, Desi." Anita melambaikan tangan pada kedua anak tetangganya.
"Devan pergi dulu ya, Budhe." Bocah tujuh tahun itu balas melambai dengan penuh semangat.
Desi yang belum lancar bicara ikut berceloteh, memancing tawa di bibir Kenar. Entah kenapa, hatinya terasa hangat. Mereka berempat seperti keluarga kecil yang akan pergi bertamasya. Sudah lama Kenar memimpikan hal seperti itu terjadi dalam hidupnya. Namun, semua hancur seiring dengan kepergian Tsania.
"Kami berangkat dulu, Bu." Kenar berpamitan.
"Iya. Kalau Runi bawel, lapor saja sama saya ya," canda Anita.
Berkebalikan dengan Kenar yang tertawa, Runi justru memasang wajah cemberut. Mana mungkin dia bawel pada Kenar. Sebisa mungkin akan dicobanya agar tak perlu bercakap-cakap dengan lelaki itu.
Ketika mobil mulai melaju, ponsel Runi berdenting pelan. Sebuah pesan dari Anita baru saja masuk.
[Bunda kok mendadak terharu ya ngelihat kalian berangkat. Rasanya kayak ngelihat kamu sudah menikah dan punya anak, terus pamitan mau pulang ke rumah sendiri.]
Gadis itu menoleh ke belakang. Dilihatnya Anita masih berdiri di halaman depan rumah sambil terus memandang ke arahnya. Sang bunda memang sering bersikap layaknya drama queen. Memandang segala sesuatunya secara berlebihan.
"Baiknya kita lewat mana, Run?" tanya Kenar ketika mobil mereka telah keluar dari kompleks perumahan.
"Terserah. Ikut GPS saja, Mas. Saya juga enggak terlalu hafal jalan ke Condet."
Lelaki itu mengintip ke spion tengah. Dilihatnya Runi sedang berusaha menidurkan Desi di pangkuan. Wajah gadis itu tak terlihat jutek seperti tadi. Kali ini debar di dada Kenar bukan debar yang menyiksa seperti biasanya. Hatinya terasa begitu lapang ketika melihat secercah senyum tersungging di bibir Runi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...