#4 Intellection

170 44 13
                                    

"Terima kasih ya Mas Kenar, Mbak Runi. Sudah repot-repot nganterin cucu-cucu saya ke sini," kata wanita tua itu sambil tersenyum lebar, memamerkan giginya yang ompong. "Devan dan Desi nggak rewel kan di jalan tadi?"

"Nggak, Bu. Mereka anak-anak manis kok. Sama sekali nggak merepotkan," jawab Kenar sopan.

"Kalian sudah berapa lama menikah? Belum punya momongan?"

Runi yang sedang menyesap teh langsung tersedak ketika mendengar pertanyaan itu. Lagi-lagi dia dan Kenar disangka sebagai pasangan suami istri.

"Ka-kami belum menikah kok, Bu," jelas Kenar.

"Walah. Kenapa belum? Padahal kayaknya Mas Kenar ini sudah mapan juga. Apa lagi yang ditunggu? Nanti Mbak Runi keburu diambil orang lho. Orang secantik Mbak Runi pasti banyak yang naksir. Sudah, nggak usah kelamaan mikir, Mas. Disegerakan saja." Wanita tua itu terus mengoceh.

Kali ini, Runi terbatuk. Kenar sendiri juga tampak risih dan salah tingkah.

"Kami cuma tetangga kok, Bu. Kebetulan saya dan Mas Kenar yang sedang lowong untuk mengantar," jelas Runi begitu napasnya kembali normal.

"Oalah, maaf. Soalnya Mas Kenar dan Mbak Runi ini serasi banget. Yang satu ganteng, yang satunya lagi cantik. Sama-sama baik dan sopan," tanggap wanita itu sambil tertawa.

Runi dan Kenar ikut tertawa dengan canggung. Pasrah saja ketika sang tuan rumah berulang kali menggoda mereka.

Gadis itu mengembuskan napas lega ketika akhirnya tiba waktu untuk berpamitan. Mertua Bu Broto benar-benar suka bicara dan semangat sekali menjodohkannya dengan Kenar. Membuat Runi tak enak hati pada lelaki yang baru dikenalnya itu.

Runi mengekor Kenar menuju tanah lapang tempat mobil pria itu diparkir. Rumah mertua Bu Broto memang terletak di tengah gang sempit, jadi mereka harus memarkir mobil agak jauh.

"Mas. Saya pulang naik angkutan umum saja," cetus Runi ketika Kenar membuka kunci mobil dengan remote di tangannya.

Alis pria itu bertaut. "Kenapa? Kamu mau mampir ke tempat lain dulu? Biar saya antar, kebetulan saya juga tidak ada agenda lain."

"Bukan begitu. Enggak enak semobil berdua saja dengan Mas Kenar." Gadis itu menunduk malu. "Takut timbul fitnah. Dari tadi sudah banyak yang salah paham, disangkanya kita pasangan."

"Kamu duduk di kursi tengah saja. Anggap saya sopir taksi. Kalau begitu tidak apa-apa, 'kan?"

"Ya, nggak bisa gitu juga, Mas. Saya ngerasa nggak enak sama Mas Kenar."

"Saya lebih ngerasa nggak enak kalau membiarkan kamu pulang sendiri. Apalagi mendung begini. Kalau kamu kehujanan di jalan gimana? Rumah kita kan sebelahan, kayak orang marahan aja kalau pulang sendiri-sendiri." Kenar menatap gadis itu dengan raut serius. "Saya janji nggak bakal ngapa-ngapain kamu, Runi."

"Bukan begitu, Mas. Gimana kalau istri Mas cemburu?"

"Istri? Memangnya saya pernah cerita ke kamu kalau sudah menikah?"

Gadis itu mengangkat bahu. "Ya belum. Cuma seperti kata mertua Bu Broto tadi. Orang seperti Mas Kenar kan biasanya memang sudah menikah. Apalagi kayaknya Mas juga sudah terbiasa ngurus anak kecil. Begitu Desi digendong Mas Kenar, anak itu langsung berhenti nangis."

Tawa Kenar akhirnya pecah. Menurutnya, cara Runi bicara begitu menggemaskan. Tak disangkanya sejak tadi gadis itu sibuk menebak-nebak latar belakangnya.

"Saya belum menikah, Runi. Kebetulan saja saya punya empat orang ponakan. Yang paling tua seusia Devan. Jadi saya sudah terbiasa berurusan dengan anak kecil."

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang