Dengan langkah tergesa, Kamila menuju pintu depan. "Tunggu sebentar," teriaknya kepada orang yang mengetuk pintu.
Seraut wajah asing tersenyum lebar kepadanya. Kamila merasa tidak pernah bertemu dengan gadis berjilbab kaos yang tengah berdiri di hadapannya itu.
"Mas Kenar ada, Tante?" tanya gadis itu ramah setelah mencium tangan Kamila. Suaranya terdengar ramah dan penuh semangat.
Kamila mengangguk. "Tapi masih belum bangun kayaknya. Habis subuh dia masuk kamar lagi dan belum keluar sampai sekarang," ujar Kamila. Sepintas, gadis itu mengingatkannya kepada Runi. Akan tetapi, gadis itu terlihat lebih ceplas-ceplos, tidak pemalu dan kikuk seperti saat Runi pertama kali bertemu Kamila.
"Oh. Mas Kenar masih belum sembuh?" Kini, wajah berbentuk hati itu terlihat khawatir. "Kalau gitu, saya titip ini saja. Bilang saja, oleh-oleh dari Mala." Gadis itu mengulurkan kantong kertas berisi dua kotak dodol Garut.
Seperti baru tersadar dari lamunan, Kamila menerima kantong itu. "Tunggu sebentar, Nak Mala. Coba saya cek dulu ke atas. Siapa tahu, Kenar sudah bangun. Silakan masuk dulu." Kamila buru-buru mempersilakan.
Setelah memastikan Mala telah duduk di dengan nyaman, Kamila menaiki tangga. Jika benar dugaannya, gadis itu pastilah yang menghubungi adik dan keponakan Kamila ketika Kenar pingsan di rumah sakit. Mungkin, Kamila bisa mencari tahu apa yang menyebabkan Kenar pingsan tempo hari.
Terdengar suara derit tempat tidur dari dalam kamar Kenar meski belum terdengar jawaban. Kamila menunggu dengan sabar di depan pintu.
"Ada teman kamu di bawah. Kalau nggak salah namanya Mala," ucap Kamila dengan nada sewajar mungkin ketika Kenar membuka pintu.
Dengan suara parau, Kenar berkata, "Saya cuci muka dulu, Ma. Tolong suruh Mala tunggu dulu."
Kamila menyanggupi permintaan putranya tanpa banyak tanya. Wanita itu berusaha tidak menunjukkan kecemasannya ketika melihat wajah pucat Kenar. Dia tahu hal itu justru akan menambah beban pikiran putranya.
"Hai, Mal," sapa Kenar ketika telah sampai di anak tangga terbawah. Seulas senyum tipis menghias bibirnya yang sedikit membiru.
"Tante masuk dulu, ya, Mala. Belum selesai nyetrika." Kamila segera bangkit dari duduknya dan berpamitan. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Jika dia ikut bergabung dengan Kenar dan Mala di ruang tamu, Kenar kemungkinan besar akan tetap menutup diri dan menyembunyikan penyebab penyakitnya kambuh.
"Belum sembuh, Mas?" tanya Mala. Gadis itu sengaja melembutkan suara. Di matanya, Kenar terlihat seperti patung kaca yang rapuh, bisa pecah jika terkena gelombang suara yang terlampau keras.
"Sudah mendingan, kok." Kenar berbohong. "Cuma butuh istirahat saja."
Mala mendorong kantung kertas di meja. "Ini, aku bawain oleh-oleh. Kemarin, aku habis dinas ke Garut. Tempo hari, Mas Kenar bilang suka dodol garut, kan?"
Kenar mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dia tidak menyangka Mala masih mengingat percakapan mereka beberapa hari lalu.
"Mas Kenar sama sekali nggak kontak Runi? Dia sempat tanya ke aku, katanya Mas Kenar nggak ngasih kabar dan nggak pernah mampir ke rumah sakit."
"Nggak. Saya belum sempat hubungi Runi. Terus, kamu jawab apa?"
"Aku bilang aja, nggak tahu. Mungkin lagi sibuk. Karena, kan, aku emang nggak tahu apa mas Kenar dah balik ngajar atau masih pemulihan." Mala mengangkat bahu dengan santai. "Nggak bohong juga, kan, aku?"
Kenar tertawa pelan. "Iya. Makasih ya sudah jaga rahasiaku."
"Tapi, Mas Kenar nggak bisa menghindar lagi. Besok, Budhe Anita sudah boleh pulang ke rumah. Jadi, pasti mau nggak mau, Mas Kenar bakal ketemu Runi juga. Kecuali kalau, Mas Kenar tiba-tiba pindah rumah." Mala berkelakar.
Kenar terdiam. Perkataan Mala memang benar. Tidak mungkin dia terus-terusan menghindari Runi.
Dengan bertopang ke sandaran tangan di kursi, Mala menghela tubuhnya ke posisi berdiri. "Aku pamit ke sebelah dulu, ya, Mas. Mau beres-beres rumah Runi. Tadi, cuma mau nganterin oleh-oleh sekalian memastikan kondisi Mas Kenar."
Tidak tahu harus menjawab apa, Kenar ikut berdiri dan mengiringi Mala ke pintu.
Mala mendadak berhenti melangkah dan memutar tubuhnya dengan cepat. Untung saja, Kenar dapat mengerem langkahnya dengan pas, kalau tidak mereka bisa bertabrakan.
"Kalau belum sempat kontak Runi, berarti Mas Kenar juga belum tahu, ya?"
Kenar kesulitan menerjemahkan ekspresi Mala, apakah gadis itu sedang cemas atau bingung, atau mungkin keduanya.
"Belum tahu apa, Mal?"
Keraguan Mala tergambar jelas di wajahnya. Gadis itu menggaruk keningnya meski tidak gatal. "Mas Gama pulang dari Korea dan kemarin ketemu Runi."
Tangan Kenar terkepal tanpa sadar. Kemarin, dia sudah memutuskan untuk melupakan rencananya untuk melamar Runi, tetapi tetap saja ada rasa sakit yang menusuk dadanya sekarang. Kakinya seperti kehilangan tenaga. Sebelum tubuhnya rubuh, Kenar buru-buru menghempaskan bokong di kursi teras.
Melihat wajah Kenar yang semakin pucat, Mala menjadi panik. Gadis itu berjongkok di depan Kenar. "Mas. Mas Kenar nggak apa-apa, kan? Maaf. Maafin aku. Harusnya aku nggak cerita itu sekarang. Aku cuma nggak pingin Mas Kenar kaget pas ketemu Runi."
Kenar berusaha mengatur napas. Karena tidak bisa banyak bergerak, dia hanya bisa fokus ke wajah Mala yang tepat ada di hadapannya. Senyum yang biasa tersungging di bibir gadis itu kini menghilang, berganti dengan gumaman permintaan maaf yang berulang-ulang.
"Nggak apa-apa, Mal. Saya justru berterima kasih sama kamu." Kenar akhirnya berhasil mengurai kata. Napasnya berangsur normal. "Sekarang, saya tahu harus bersikap bagaimana kalau ketemu Runi."
"Maaf. Harusnya aku lebih peka. Padahal kemarin dokter juga sudah bilang ke aku kalau Mas Kenar punya penyakit jantung, aku malah main ngoceh nggak kira-kira." Mala masih terus menyalahkan dirinya sendiri.
Tingkah Mala berhasil memancing Kenar tersenyum, malahan kini lelaki itu terkekeh pelan. "Nggak apa-apa, Mala. Sejak pingsan tempo hari, saya sudah banyak berpikir. Dan saya rasa, saya belum siap buat mencintai orang lain kalau saya belum bisa mencintai diri saya sendiri. Jadi, mungkin memang ini yang terbaik. Lagi pula, sejak pertama melihat Runi dan Gama, saya sudah punya firasat kalau Gama punya arti spesial buat Runi, cuma ego saya terus memaksa saya buat maju."
"Kalau begitu, aku doain Mas Kenar ketemu cewek yang nanti mencintai Mas Kenar lebih dari mencintai dirinya sendiri. InsyaAllah, orang sebaik Mas Kenar jodohnya juga nggak kalah baik." Sorot mata Mala terlihat begitu tulus.
"Saya doain hal yang sama buat kamu."
"Jangan, Mas."
Kening Kenar mengernyit. Tanggapan Mala sungguh tidak dia duga.
"Tolong doakan aku dapat jodohnya yang lebih baik dari aku. Soalnya aku sadar diri, Mas. Aku yang sekarang ini masih banyak kekurangannya," pinta Mala dengan bibir mencebik. "Yah, aku lagi memperbaiki diri, sih. Tapi kalau boleh request, pinginnya dapat jodoh yang lebih baik dari aku. Jadi, tolong doain ada cowok baik yang khilaf mau sama aku."
Ekspresi Mala terlihat begitu lucu di wajah Kenar. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, Kenar akhirnya dapat tertawa lepas lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...