#15 Intervention

207 43 4
                                    

Kenar mengetuk pintu kamar tempat ibu Runi dirawat. Sayup-sayup dia mendengar Runi menjawab salamnya. Beberapa menit kemudian, gadis itu menyapanya dengan mata sembab dan merah. Tidak ada binar ceria yang biasa Kenar temukan di mata Runi. Tidak ada senyum hangat yang biasa Kenar lihat menghias bibir Runi. Tidak ada tawa riang penuh kebanggaan yang kemarin siang Kenar lihat kala gadis itu keluar dari ruang sidang.

"Aku bawakan sarapan buat kamu. Juga beberapa camilan," ucap Kenar sembari menyodorkan  kantong plastik yang dibawanya.

Runi memaksakan diri tersenyum. Sayang, senyum itu tidak bisa sedikit pun menyembunyikan rasa gundah yang tengah menguasainya. Bibirnya mengucap terima kasih dengan suara yang begitu lirih. Semalam, dia terlalu banyak menangis karena tidak tega mendengarkan rintihan sang bunda ketika pengaruh obat mulai memudar

Gadis itu bersyukur ibunya selamat, tetapi ia belum bisa mengusir kecemasan dari hatinya. Dokter bilang, ada penggumpalan darah di kepala sang bunda. Tulang kering Anita patah di dua tempat, beberapa tulang rusuknya pun retak. Sejak masuk IGD hingga dipindahkan ke kamar perawatan, Anita belum sepenuhnya sadar. Obat bius membuat wanita itu terombang-ambing dalam alam bawah sadar, juga kerap mengigau dan meracau. Runi nyaris tidak bisa tidur semalam. Suara sekecil apa pun yang terdengar dari bibir sang bunda selalu membuatnya terbangun. Sesekali dielusnya tangan Anita sembari membisikkan kalimat-kalimat penghiburan, seperti yang dulu wanita itu lakukan kala Runi kecil dilanda sakit.

"Kamu harus makan, Runi. Jangan sampai sakit."

Runi tersentak dari lamunannya. Entah berapa lama dia mematung di hadapan Kenar seperti itu.

Kenar menatap gadis itu dengan sorot mata khawatir.  Dadanya terasa sesak kala melihat Runi terlihat begitu lelah dan patah. Ingin sekali ia meminjamkan pundak agar sang gadis dapat menyandarkan kepala. Ingin sekali direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukan agar dapat dia bisikkan bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, Kenar hanya bisa menatap wajah bulat yang tak bercahaya itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Iya. Nanti aku makan, Mas." Runi meletakkan makanan yang dibawa Kenar ke atas nakas samping tempat tidur.

Kenar mengamati kepala Anita yang dibebat perban. Nyaris tak bisa ia kenali wajah perempuan penyabar itu karena separuh wajahnya bengkak dan memar. Kenar teringat pembicaraan terakhirnya dengan Anita saat ia meminta izin untuk melamar Runi. Harusnya kemarin ia laksanakan rencananya itu. Harusnya saat Runi keluar dari ruang sidang, ia mengutarakan keinginannya untuk meminta gadis itu menjadi pendamping hidupnya, bukan menyampaikan kabar buruk seperti kemarin.

"Mas Kenar hari ini nggak ngajar?"

Kenar menoleh pada Runi. Gadis itu tengah menatap ibunya dengan nanar.

"Masih jam setengah sepuluh nanti. Habis dari sini, aku langsung ke kampus."

"Ini sudah hampir jam sembilan lho, Mas. Nanti telat," kata Runi. Bukannya dia ingin mengusir Kenar pergi. Jujur saja, hatinya sedikit tenang ketika melihat lelaki itu datang. Dia butuh teman bicara agar pikirannya tidak melantur ke mana-mana dan membayangkan hal-hal buruk yang justru semakin membuatnya resah.

"Iya. Aku ke kampus dulu ya. Nanti selesai ngajar, aku insyaAllah ke sini lagi sekalian bawain makan siang," janji Kenar.

"Aku nggak pingin ngerepotin Mas Kenar."

Kenar menyimpul senyum tipis. "Aku sama sekali nggak merasa direpotin. Kalau kamu butuh apa-apa, telepon aja aku. Jangan sungkan."

Gadis itu mengangguk tanpa suara. Senyum teduh Kenar memberinya sedikit kekuatan, meyakinkan bahwa dirinya tidak sendiri menghadapi semua masalah yang mendera.

"Jangan lupa nasi uduknya dimakan," pesan Kenar sebelum berpamitan.

Kamar perawatan itu kembali sunyi usai kepergian Kenar. Runi duduk bersimpuh di atas karpet tipis yang kemarin Mala bawakan untuknya. Gadis itu meraih ponsel yang tergeletak di dekat kaki. Banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan yang masuk. Kemarin, Runi sengaja mengabaikan semuanya karena terlalu sibuk mengurus administrasi rumah sakit, menemui dan bernegosiasi dengan si penabrak di kantor polisi, juga merawat ibunya.

Cahaya Cinta Arunika (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang