Suara air mengalir terdengar dari arah dapur saat Kenar menuruni tangga. Lantai rumahnya sedikit licin, tanda habis dipel. Kenar berjalan dengan hati-hati menuju bagian belakang rumahnya. Dari pintu dapur yang setengah terbuka, Kenar diam-diam mengintip dan mengamati punggung sang ibu yang tengah berdiri menghadap bak cuci piring.
Kamila tiba di Jakarta pagi sebelumnya dan langsung menuju rumah sakit untuk menemani Kenar menjalani medical checkup seharian. Dokter bilang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya menyarankan supaya Kenar tidak terlalu capek dan banyak pikiran. Namun tetap saja, Kamila memutuskan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu.
"Mau sampai kapan kamu ngelihatin mama kayak gitu?" tanya Kamila tanpa menoleh. Tangannya dengan cekatan mengelap piring-piring lalu menatanya di rak. Dia mencuci ulang semua peralatan makan di rak karena Kenar tidak pernah memindahkannya ke lemari. Menurut wanita itu, piring-piring itu sudah terkontaminasi debu, harus dicuci ulang.
Kenar berjalan menuju meja makan, lalu menarik salah satu kursi yang ada di sana. Setelah mengeringkan tangannya dengan kain lap, Kamila pun menyusul duduk tepat di seberang Kenar. Wanita itu bertanya apakah Kenar ingin makan siang lebih awal.
"Mama sebaiknya istirahat dulu. Nggak perlu langsung beres-beres kayak gini," saran Kenar dengan nada khawatir saat melihat kantung mata Kamila yang terlihat lebih gelap dari biasanya. "Saya nggak pingin Mama ikut sakit."
Kenar merasa kerutan di wajah ibunya bertambah banyak dalam semalam. Kamila seolah menua dengan cepat. Mulanya, Kenar pikir kesan itu timbul karena wajah sang ibu sedang polos tak terpoles riasan. Namun, setelah Kenar perhatikan lagi, pundak Kamila juga terlihat merosot, lebih bungkuk dari yang mampu Kenar ingat.
"Kalau nggak beres-beres. Mama cuma bisa bengong sendirian, ujung-ujungnya pikiran mama jadi ngelantur," tutur Kamila. Rasa penat tergambar jelas di wajahnya. "Sebenarnya, apa yang terjadi toh, Nar?" Kamila tak tahan lagi untuk bertanya. Seharian kemarin, dia menunggu Kenar bercerita, tetapi putranya itu terus saja bungkam penuh rahasia.
Kenar tidak tahu harus mulai bercerita dari mana. Malah, dia sebenarnya ingin merahasiakan pertemuannya dengan Tsania. Kenar tidak ingin ibunya kembali dihantui perasaan bersalah jika tahu penyebab dia pingsan. Kamila kerap menyalahkan diri sendiri karena telah mengenalkan Kenar kepada Tsania.
"Maaf sudah membuat Mama cemas." Kenar meraih telapak tangan Kamila dan menggenggamnya erat. "Saya pingin bilang saya baik-baik saja, tapi nyatanya saya nggak sedang baik-baik saja. Tapi ... saya janji bakal berusaha untuk sembuh. Saya harap mama bisa percaya."
Kamila menatap ke dalam mata Kenar, berusaha mencari tahu apakah yang diucapkan putranya itu sekadar untuk menenangkan hatinya atau memang serius.
"Apa ini ada hubungannya dengan Runi? Makanya, kamu minta mama untuk nggak cerita sama dia?" tanya wanita itu. "A-apa Runi menolak lamaran kamu?"
Kamila kembali teringat bagaimana Kenar terpuruk saat Tsania membatalkan rencana pernikahan. Berhari-hari Kenar tidak keluar kamar. Putranya seolah berubah menjadi sesosok mayat hidup. Tidak makan. Tidak tidur. Hingga tubuh Kenar tidak sanggup lagi.
"Saya bahkan belum melamar Runi, Ma." Kenar buru-buru menjawab. Dia tidak ingin Runi menjadi kambing hitam atas masalahnya. "Runi masih fokus merawat ibunya, saya tidak ingin mengganggunya."
"Terus, kenapa, Nar? Mama sudah hitung sisa obat kamu. Jumlahnya pas. Sejak operasi, kamu nggak pernah kambuh lagi. Walau kemarin kamu bilang kecapekan ke dokter, mama nggak percaya. Kamu nggak pernah bisa bohong sama mama."
Kenar memalingkan wajah ke samping. Dicobanya menghindari tatapan sang ibu yang menuntut penjelasan. Bayang-bayang kejadian kemarin kembali merasukinya. Namun kali ini, Kenar melihat Tsania tengah mentertawakannya. Hal itu berhasil membakar lagi amarahnya. Napas Kenar mulai memburu. Wajahnya terasa dingin, seolah aliran darah hanya terhenti sampai di leher.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...