Sol sepatu yang dikenakan Runi beradu dengan lantai bandara. Tangan kirinya menggeret koper, sedangkan tangan kanannya sibuk mengeluarkan ponsel dari saku coat-nya. Langkahnya berhenti ketika ponselnya belum juga tersambung dengan koneksi wifi bandara. Dia pun menepi sebentar agar tidak menghalangi jalan.
Begitu ponselnya mendapatkan koneksi internet, rentetan pesan berduyun-duyun masuk. Walaupun pesawat yang tadi dia tumpangi menyediakan akses internet, Runi terbiasa mematikan ponsel saat sedang terbang.
Setelah memberi kabar kepada ibunya, Runi membalas pesan-pesan yang lain.
Keisha:
Run. Kamu nggak lupa bawain suvenir
buat orang headoffice kan?
Sambil tertawa, Runi membalas pesan Keisha yang bertugas sebagai liason officer untuk delegasi komikus yang diundang ke kantor pusat. Dua hari lalu, Keisha dan para komikus lain telah berangkat lebih dulu. Mereka telah menyiapkan suvenir khas Indonesia bagi rekan-rekan mereka di kantor pusat. Namun rupanya, suvenir itu justru lupa Keisha bawa dan akhirnya dititipkan kepada Runi.
Runi memang terpaksa berangkat belakangan karena Mala baru bisa menginap di rumahnya tadi malam. Meski Anita telah bisa mengurus diri sendiri, Runi tetap khawatir jika tidak ada yang menemani sang ibu.
Usai memastikan semua pesan penting telah dia balas, Runi menyisir daftar kontaknya. Jemarinya mengeklik nama yang berada di daftar panggilan favorit. Akan tetapi, belum sempat dia menekan tombol panggil, orang yang hendak dia hubungi itu justru lebih dulu menelepon.
"Di mana?" tanya lelaki itu.
"Sebentar lagi keluar." Runi mempercepat langkahnya. Dirinya sudah tidak sabar bertemu dengan lelaki itu. Padahal, mereka baru berpisah beberapa bulan, tetapi hatinya sudah tidak kuasa menahan rindu.
"Oke. Aku sudah di depan gerbang kedatangan. Jangan tutup teleponnya."
Runi menuruti permintaan lelaki itu. Sesekali, dia memperhatikan petunjuk arah untuk memastikan dia tidak tersesat.
"Aku sudah lihat kamu. Coba toleh ke kiri sedikit."
Sesuai instruksi, Runi memutar leher ke kiri. Dia langsung menemukan orang yang dicari tanpa kesulitan. Senyum lebar merekah di bibir Runi. Dadanya terasa penuh dengan perasaan gembira yang sukar dijelaskan.
Runi melambaikan tangan sambil mempercepat langkahnya. Begitu jarak mereka hanya tersisa satu setengah meter, Runi melepas genggamannya pada gagang koper dan berlari menghampiri lelaki itu.
Dalam hitungan detik, tubuh Runi telah melesak ke dalam pelukan hangat Gama.
"Aku kangen," bisik Gama sembari mengecup kening Runi.
"Aku juga." Runi makin menyembunyikan wajahnya di dada Gama. Sekarang, wajahnya pasti telah memerah serupa kepiting rebus. Dihirupnya aroma parfum Gama dalam-dalam. Kini, rindunya lunas sudah.
Gama meraih koper Runi dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan sang istri.
Semua yang terjadi enam bulan terakhir serasa mimpi bagi mereka berdua. Meski telah saling mengenal bertahun-tahun, sejak menikah, mereka seolah kembali belajar saling memahami dari awal. Apalagi, Gama harus segera kembali ke Korea beberapa hari setelah pernikahan, tidak banyak waktu untuk membuat terbiasa dengan status yang baru.
Dada Gama terasa gemuruh saat merasakan hangat tangan Runi dalam genggamannya. Kini, dia bebas menyentuh tangan lembut itu. Dia bebas memeluk tubuh mungil itu. Dia bebas menelepon, mengirimi pesan, dan juga mengungkapkan rasa cinta sebanyak yang dia mau.
"Makasih, ya, Run," ucap Gama dengan suara bergetar.
"Makasih buat?"
"Makasih sudah mau menjadi istriku."
Kalimat itu seolah menjadi mantra bagi Gama, akan selalu dia ucapkan tanpa pernah merasa bosan.
-Amela-
Enam bulan sebelumnya ...
"Bunda setuju, Run. Bunda senang kamu akhirnya berani mengambil keputusan itu. Sudah sejak lama, hal ini jadi beban pikiran Bunda." Anita memberikan persetujuannya. "Bunda khawatir, kamu mengorbankan rencana-rencana kamu hanya karena kondisi bunda."
Runi membenamkan kepalanya di pangkuan Anita. Air matanya tidak berhenti mengalir sejak tadi. Perasaan lega telah mengisi hatinya penuh-penuh.
"Kamu mau dengar saran bunda, nggak, Run?" Anita bertanya dengan lembut seraya mengusap pucuk kepala putrinya.
"Tentu, Bunda."
"Pakdhe kamu kan ada dinas ke Jakarta minggu depan. Katanya, mau sekalian mampir ke sini buat jenguk bunda."
Runi mengangkat kepalanya dengan perlahan. Kedua matanya balas menatap sang bunda dengan penuh rasa penasaran. Pakdhe yang dimaksud Anita adalah kakak dari almarhum ayah Runi.
"Tiket pesawat Korea-Jakarta, kan, nggak murah, Run. Kasihan Gama kalau mesti bolak-balik. Selain itu, nggak baik juga nunda pernikahan terlalu lama. Kalau kamu setuju, nanti bunda telepon pakdhe kamu. Biar sekalian nanti ketika dia ke sini, dia jadi wali nikah kamu."
Runi seolah kehilangan segala kosakata yang dia tahu. Dia tidak dapat mendefinisikan perasaan yang tengah dirasakannya saat itu. Namun yang jelas, perasaan itu lebih agung dari sekadar perasaan bahagia biasa.
"Gimana?"
Anggukan kepala Runi menjadi jawaban atas pertanyaan yang diajukan Anita. Gadis itu bangkit dari duduknya dan meraih ponsel.
Mas. Aku sudah memutuskan. Kapan Mas Gama bisa ke rumah?
Pesan itu dia langsung kirimkan begitu selesai diketik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cahaya Cinta Arunika (Tamat)
RomanceArunika Dahayu, gadis dengan tawa sehangat matahari pagi. Gama Fareza, pria dengan sorot mata secemerlang bintang. Kenar Andaru, lelaki dengan senyum seteduh bulan purnama. Takdir membelit kisah mereka dalam jalinan cerita yang entah hendak dibaw...