Olaa!! JANGAN LUPA VOTE☆ DAN KOMEN💬
_______
Air mata ini tak henti meluruh, mengeluarkan segenap kepedihan yang aku rasakan sejak tadi siang, namun meski begitu dadaku masih sesak, bahkan tambah perih tatkala ku lihat jarum jam menunjuk angka sembilan dan mas Rizal belum juga pulang. Kemanalah suamiku itu, apakah dia tengah asik bersama Risa sahabatku? Mungkinkah nanti saat ku tanya kemana ia akan menjawab dengan sejuta kebohongan bersampul 'Banyak pekerjaan'?
Ya Allah, sakit sekali, tak tahan lagi rasanya menjalani kisah pahit ini. Otakku berkelana, menimang dua keputusan antara melepas atau tetap bertahan. Sementara kedua jalan itu sama-sama akan menimbulkan banyak luka; luka perpisahan atau mungkin luka mengikhlaskan sebatas bibir saja.
Kedua kakiku melangkah, menuntun tubuh menghampiri dinding kaca. Perlahan ku tatap purnama yang bercahaya, yang mampu meneduhkan hati dengan sinarnya. "Duhai bulan, mengapa kau tak cukup dengan satu bintang? Padahal kau tetap indah meski hanya berdua bersama bintang terkecil sekalipun."
Hah ... bodoh sekali, mengapa aku berbisik pada benda yang jauh di angkasa. Menganggap seolah bulan juga sama tak setianya. Aku sangat lelah, bahkan sekarang yang terasa hanya bengkak di sekitar mata, hujan-hujan itu sudah mengering. Tak mau lagi keluar sebagai pewakil kelaraan. Dahiku mengkerut, masih memandang sang purnama. Hanya kali ini penuh tanya. Awan mendung tiba-tiba menutupi separuh wajah bulan, membuat ia terlihat memancarkan aura suram.
Seketika, gelombang suara menyiut di telinga, menyebabkan hatiku yang dingin bergetar merasakan luka yang menyeruak di sana.
"Zahra." Entah sejak kapan dia berdiri di ambang pintu, yang jelas tak ku lihat mobil terparkir di halaman rumah. Mungkinkah aku ditulikan oleh kesedihan, sampai-sampai tak ku dengar deruman mobil yang datang? Entahlah, yang jelas tubuhku segera berbalik menatapnya yang masih mematung di sana, dengan kemeja basah dan ubrak-abrik layaknya orang gila.
Melihat tampangnya begitu, kedua kaki ini mengayun dengan sendirinya, tanganku hendak membelai romanya yang kuyuh, namun sekelebat ingatan tentang tadi siang mengurungkan niatku, pun putaran kalimat akan pernikahan kedua seketika mendayu merdu dalam kepala. Aku berhenti, memalingkan wajah ke sembarang arah, mungkin ini sebuah dosa, tapi mau bagaimana, dadaku penuh akan kebencian terhadap mas Rizal terutama Risa.
"Zahra, aku sangat lelah. Tubuhku juga kedinginan." Aku tahu dia sedang mengode agar aku mengambilkan dia handuk seperti hari-hari biasa.
"Memang apa peduliku, Mas? Kau juga tidak peduli, 'kan, terhadap lukaku?" Tak bisa ditutupi, suaraku bergetar pilu. Tadi aku pikir air mata ini benar-benar kering, akan tetapi ternyata detik ini ia kembali menderasi pipi. Memancing ingatan-ingatan semakin menguar dipikiran. Sejenak hening tidak ada jawaban. Aku pun langsung berpaling, berdiri tidak jauh darinya. Perasaanku tidak karuan. Aku kecewa terhadap Mas Rizal. Namun, tak lama kemudian Mas Rizal mendekat dan berdiri di sampingku. Aku dapat melihat dari ekor mata raut wajah Mas Rizal yang lelah, lalu menunduk dan menempelkan dahinya di pundakku. Menyisakan tetesan air di sela-sela baju.
"Aku tahu kau marah," lirih pria itu sangat pelan, namun pasti mampu ku dengar. "Aku mengerti, sangat. Maka dari itu, aku menarik perkataanku beberapa waktu lalu."
Tenggorokan ini tercekat tak percaya, bahagia plus ragu menyeruak bersamaan. Lama badanku terdiam tegang, sedang mas Rizal mengangkat kepalanya dan beralih meraih bahuku, membimbing menghadapnya. "Bagaimana, bahagia?" tanyanya disertai anggunakan memastikan, tak luput senyum tipis tersungging di antara guratan kelamnya.
Mata ini kian basah, meruah bulir bening berdesak bagai panen mutiara. Mengapa secengeng ini. Ketahuilah, tangis ini adalah tangis bahagia. Sepertinya untuk sekarang semesta tengah becanda, menakut-nakuti dengan perasaan ketakutan akan kehilangan suami. Lebih tepatnya, berbagi kekasih.
Tangan mas Rizal bergerak mengacak rambutku. "Hey, kenapa menangis, seharusnya kau tersenyum bahagia mendapatiku gagal menikah," kelakarnya tertawa kecil. Di kalimatnya ada sebagian yang menggores hatiku, tapi tak masalah, ini saja sudah cukup membuatku kembali mekar layaknya bunga yang terguyur hujan di tengah kemarau.
"Mobil kemana?" tanyaku, sejak tadi memang penasaran tentang kendaraan roda empat itu
"Mobil ada di bengkel, aku jalan kaki agar bisa pulang."
"Kenapa tidak naik taksi saja, Mas? Sekarang, 'kan, jadi basah begini." Aku mengkerutkan dahi, berlagak cemas.
"Hmm ... baru ingat untuk bertanya, ya? Ini sudah kering. Terlambat." Tangan nakalnya kembali mengacak rambutku, namun kali ini di akhiri kecupan singkat di pipi sebelum ia beranjak ke kamar mandi meninggalkan aku yang kini merona, namun masih tergenangi air mata.
***
Sekian purnama terlalui semenjak malam perdamaian itu, semua teratur baik-baik saja. Kami hidup tenang, meski aku tidak berpikir selamanya Allah akan memuluskan jalan kehidupan. Aku yakini, sebagai makhluk pemeran dalam takdir penuh cinta, pastilah akan ada lagi ujian-ujian yang menanti. .
Hari ini seperti biasa mas Rizal sedang berkutat dengan pekerjaannya di kantor, super sibuk. Sekarang saja katanya ia akan pulang malam, sebab rapat dadakan. Dan aku, sekarang terduduk di hadapan dokter yang sama menunggu hasil dari pemeriksaanku, dan ya, dokter itu yang beberapa bulan lalu menangani gegar di otakku. Jujur saja aku bingung, bukankah dia dokter spealis kepala, dan tempat kerjanya bukanlah di rumah sakit yang sekarang aku singgahi. Sama sekali bukan.
Namun tidak tahu mengapa, seolah dokter di dunia hanyalah dia, dia juga yang memeriksaku sekarang. Padahal keluhanku hanya pegal-pegal. Ah, entah, masa bodoh dengan dia.
"Zahra, kau...." Ucapannya menggantung, berhasil menautkan alisku penuh tanya. Rasa penasaran kian membuncah tatkala mulut dokter itu sedikit terbuka seperti hendak meneruskan kata-kata.
"Saya kenapa, Dok?" tanyaku tak sabar sekaligus khawatir.
"Kau hamil...."
Aku tidak salah dengar, 'kan? Refleks tanganku membekap mulut, menahan teriakan kaget lolos dari kedua bibirku. Aku tidak percaya ini, harus berekspresi apa aku sekarang? Aku ingin meloncat girang, namun di lain sisi rasa malu menahanku melakukan itu.
"Dokter jangan becanda?!" Aku menarik kursi pasien lebih dekat ke arah meja. Menandakan keseriusanku dalam bertanya.
"Saya serius."
"Baik, kalau begitu saya pulang dulu!" Aku beranjak pergi, melesat dan segera menarik daun pintu. Tapi belum sempurna pintu itu terbuka, si dokter tadi kembali memanggil, "Zahra, tunggu dulu!"
"Ada apa, ya? Saya sudah bayar." Aku menoleh ke arahnya, ku lihat ia beranjak dari duduk menghampiriku.
"Bukan itu. Tapi...," ia berucap agak ragu, "apa kamu bahagia?"
Pertanyaan yang aneh. Sebuah guyonan yang renyah, tidak lucu. Tapi saat ku tatap matanya, ia tidak terlihat sedang bergurau, sorot matanya menampilkan guratan kesedihan. Orang ini sangat aneh, tiap kali kau mencoba menatapnya dalam-dalam mencari sesuatu seperti kebanyakan orang, maka kau hanya akan merasakan perasaanmu tertarik oleh keambiguan. Matanya kosong. Tidak ada apa-apa di sana, bahkan sekadar hangat atau dinginpun tak ada.
Aku segera mengalihkan pandangan, membuang jauh-jauh perasaan takut sekaligus haru yang serempak menyergap relung hatiku. "Tentu. Saya bahagia, sangat," jawabku mantab disertai senyuman kecil.
"Ya sudah kalau begitu," balasnya tak acuh dan berlalu pergi, mendahuluiku yang sedari tadi memang berniat keluar. Ia seakan lupa akan banyaknya pasien yang mengatri di luar. Padahal teriakan seorang wanita yang ku yakini sebagai suster terus memanggil namanya, namun lagi, dia seperti tuli. Sangat aneh!

KAMU SEDANG MEMBACA
Takdir Cinta [BAKU]
Romance17+ HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN. Zahra Nadzaran Fidqa, seorang muslimah berusia 19 tahun bermasalalu menyeramkan. Ia di jodohkan dengan anak teman orang tuanya, Rizal Maulana. Zahra terima dengan lapang dada, walau awalnya terpaksa, namun pada akhirn...