Part 16

223 5 0
                                    

"Sedikitpun tak masalah jika kau tak sekuat kamu di masalalu, aku akan tetap bersamamu!

Yang aku takutkan bagaimana jika kau pergi meninggalkanku saat mengetahui fisikku tak lagi seindah dulu."

🌼-Takdir Cinta-🌼
*

*
*

"Assalamu 'alaikum, Zahra."

Terlihat sang Ayah berjalan menghampirinya, Ersa sempat tertegun melihat wajah putrinya yang hampir tak berupa manusia. Tak disangka separah itu luka di balik perbannya.

"Wa'alaikumussalam." Zahra tersenyum menyambut Ersa yang melangkah ke arahnya.

Di dekaplah putri satu-satunya itu, ia cium penuh kasih sayang tak memedulikan luka yang terlihat menjijikkan bagi sebagian orang. Zahrapun menghambur, ia curahkan rindunya pada sang ayah selama ini. Selama ia di rawat, ini adalah kali pertama Zahra melihat ayahnya.

"Ayah kemana saja? Zahra tidak ada yang menjaga." Zahra mengadu, tak pernah sikap manjanya pudar dari sosok wanita tangguh penuh rapuh.

"Dan kenapa Ayah tidak pernah menjenguk Zahra?" lanjutnya masih tak mau melepas pelukan, seharian matanya enggan mengering dan terus berair.

"Ayah sering kok, jenguk Zahra. Hanya saja Zahra sedang tidur." Ersa melepas pelukan Zahra, pria  berumur 40 tahun itu membungkuk mensejajarkan wajahnya dengan sang anak, tak tega rasanya melihat air mata mengucur deras dari kedua mata indah putrinya. Namun Ersa juga tak bisa apa-apa ia takut untuk mengelap luka Zahra, takut malah menambah sakit di wajah Zahra.

"Wajah Zahra bau, kan?"

"Tidak sama sekali," elak Ersa tersenyum kemudian menciumi wajah putrinya. Memangnya luka bakar mana yang tak bau, apa lagi sampai berair seperti itu? Hanya saja Ersa lebih memilih untuk menguatkan hati si putri.
Tak henti ciuman mendarat di kening dan bagian wajah lainnya, bagi Ersa Zahra tetaplah putri kecilnya yang manja.

"Terima--ka-sih." Sengguk kecil terus keluar, matanya terlihat sembap walau dalam keadaan luka bengkak sekalipun.

"Sudah jangan menangis. Zahra belum makan, kan? Ayah bawa buah." Ersa tersenyum memperlihatkan buah-buahan dalam ranjang yang ia tenteng.
Bisa dilihat jas Ersa basah terkena ingus-ingus Zahra, tapi tentu itu bukan masalah bagi si ayah. Asal anaknya bahagia, Zahra bebas mengingusinya.

***

Dokter paru baya berjenggot tebal itu tak mendapat respon apapun dari pasien yang selama satu minggu ini di rawatnya.
Tak ada kemajuan apapun dari Rizal, sesekali detak jantungnya mengkhawatirkan. Tak membiarkan Daniar tertidur nyenyak barang sedetik sekalipun. Tidak ada tanda-tanda akan terbukanya mata elang yang selama ini istrinya banggakan. Sedikitpun tak ada, masih bernapas saja itu sudah cukup menjadi sebuah keajaiban, begitulah yang dokter katakan.

Daniar tahu Zahra menantunya telah siuman semenjak beberapa hari lalu, tapi ia tak punya waktu untuk menjenguk si menantu. Waktunya ia habiskan menunggu putranya tersadar. Daniar juga tahu Zahra masih belum bisa beranjak keluar kemanapun, jadi Daniar tak menyalahkan jika Zahra tak pernah menjenguk Rizal walau sekalipun.

"Maaf, anak Anda tidak bisa kami tolong," ungkap dokter wanita di ambang pintu, tersirat nada ragu di setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Si ibu menatap tak percaya manik dokter di hadapannya, tak mungkin bila anak semata wayangnya meregang nyawa begitu saja. Ledak tangis serempak terjadi di antara beberapa keluarga, terutama sekumpulan para wanita. Wanita paru baya yang di yakini ibunya sempat tergeletak tak sadarkan diri.

Daniar yang memperhatikan dari ujung sana hanya mampu menggigit bibir bawah, ia mengerti pada perasaan seorang ibu yang kehilangan anaknya itu. Bulir bening kembali meleleh dari iris mata yang memerah sejak tadi, takut-takut yang terjadi pada mereka juga terjadi pada anak satu-satunya, Rizal.

Daniar lebih memilih masuk pada ruang rawat Rizal, tangisnya kembali tumpah saat tangannya menyatu dengan jari tak berdaya putranya. Dalam hatinya Daniar berharap ada secercah keajaiban yang Tuhan beri, ia harap sebuah fanstasi bisa terjadi hingga Rizal membuka mata dan sehat kembali. Namun lagi-lagi itu hanya bayangan untuk saat ini.

Derit roda diikuti ucapan salam terdengar di ambang pintu, seketika Daniar menoleh ia beranjak dan segera menjawab salam. Betapa senang hatinya melihat sang menantu datang walau harus berusung kursi roda yang di dorong oleh Ersa. Butuh upaya membujuk dokter itu agar mengizinkan Zahra keluar kamar. Ia hanya diberi waktu 20 menit oleh pria pemilik alis tebal itu.

"Boleh Zahra jenguk Mas Rizal?" Izinnya sesudah Daniar melepas pelukan. Daniar hanya mengangguk mengiyakan di akhiri senyum hangat, ia mengganti kendali dan mendorong kursi roda Zahra menuju tempat Rizal terbaring lemah dan berusaha membantu Zahra menduduki tepi ranjang. Daniar mengelus lembut pucuk kepala Zahra sesaat sebelum ia pergi keluar membawa senyuman merekah.

Sendu Zahra tatap wajah tak berdaya suaminya. Balutan perban melilit pada dada Rizal yang terluka, Rizal bertelanjang dada menampilkan deretan bekas jahit di pinggiran.
Lembut tangan Zahra membelai rambut Rizal yang sedikit berantakan menutupi dahi yang juga terbalut tipis.

"Mas, cepat bangun." Zahra mengecup punggung tangan Rizal lembut, air mata menetes di sana, membasahi tangan si pria.

"Cepat bangun, aku takut sendirian. Contohnya seperti tadi malam, tidak ada yang menemaniku di kamar menakutkan itu. Mas, kau boleh menggangguku asal bangun dan cepat pulih kembali," lirihnya  lembut, harap-harap ada jawaban dari suami, namun hanya hening yang menjawab dan berusaha menyadarkan.

"Mas lihat wajahku, karena kecelakaan beberapa waktu lalu wajahku jadi bengkak begini." Zahra kembali berbicara, ia menaruh telapak tangan Rizal di wajahnya yang luka, seakan memberi tahu Rizal akan apa yang dialaminya. Namun lagi-lagi tak ada jawaban penenang dari yang diharapkan, lagi-lagi hanya suara elektrokardiograf berdenyit perdetiknya, membuat kepala pusing mendengarnya.

"Mas, kalau nanti kau bangun. Jangan sedih karena tidak percaya diri akan keadaanmu yang sekarang, aku tetap menerimamu apa adanya. Janji!" Zahra menyunggingkan sengiran semangat seraya mengaitkan jari kelingkingnya pada jari sama dari sang suami.

"Sedikitpun tak masalah jika kau tak sekuat kamu di masalalu, aku akan tetap mendampingimu," lanjutnya lagi, "Tapi ... yang aku takut kau akan meninggalkanku saat mengetahui fisikku tidak lagi seindah dulu."

Tangannya kembali menelusuri bagian wajah Rizal, lukanya tak separah Zahra. Tidak ada bengkak seperti wajah istrinya. Tapi tetap, keadaannya saat ini sangat meprihatinkan bagi hati kedua wanita yang begitu berharap akan kesembuhan pria ini.

Susah payah Zahra bergeser tempat agar lebih dekat pada tubuh Rizal, Zahra begitu ingin memeluknya kuat namun ia takut akan menyakitinya.
Seperti biasa saat Rizal sakit di rumah, Zahra mendekatkan wajah. Lebih mengarah pada arah telinga, Zahra membisikkan dzikir disana sembari mengusap lembut rambut Rizal.

Sentuhannya penuh kasih sayang nan kelembutan, jika saja Rizal sadar seharusnya ia akan luluh akan sikap istrinya yang seperti itu. Tak bosannya Zahra menyingkap-nyingkap kecil suraian suaminya, membiarkan air tumpah mengiringi luka yang ikut nyeri di tiap pori-pori.

Triing-triing....

Bunyi bel dari arah luar jelas terdengar, pertanda waktu yang diberikan dokter tamat sudah. Zahra menahan napas tak rela saat tubuh Ersa terlihat di ujung sana, Zahra tidak mau berpisah dengan suami yang baru ia temui.

"Sebentar lagi," pintanya memelas ketika Ersa hendak memindahkan Zahra ke tempat semula; kursi roda. Ersa menatap Rizal sekilas dan kembali menatap Zahra dengan gelengan kepala. Dalam hati, Ersa merasa tak tega pada anaknya, namun ini juga demi kebaikan Zahra.

Zahra menarik napas, ia ingin marah tapi tidak tahu pada siapa. Dunia serasa tega mempermainkan perasaan Zahra, harap semesta tak ikut bermain dengan dunia dalam rasanya.

___
Up!

Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang