Part 13

219 13 1
                                    

Purnama memancarkan sinarnya.
Menerpa pada dua insan di bawahnya.
Aku dan dia duduk bersama, bertukar rasa lewat sandaran kepala.

Duh, tenangnya malam ini.
Kekasihku tak banyak bicara tersenyum lalu sesekali menilik dalam netraku. Terkesan berbeda namun tak tahu apa.
Tangannya menjalar pada area punggungku, lembut sekali terasa, dia benar-benar berbeda.

Ia menoleh mendorong pelan kepalaku agar tegap menghadapnya, dahiku mengernyit menunggu bibir yang sedikit terbuka seperti sedang ingin mengatakan sesuatu yang dalam nan bersyarat.

Tak ada warna apapun yang keluar dari mulutnya, seperti ragu untuk mengatakan apa yang ada di hati dan pikiran. Lekat-lekat ku tatap wajah tampan pangeranku, sedikit meraba lembut pada rahang kokoh si dia. Bekas cukuran menyisa kasar terasa di tangan.
Kembali ku tangkap sirat sedih di sana, dalam hati ingin sekali bertanya namun di lain sisi tak kuat hanya dengan menatap dalam mata kelam itu.

Bintang di penghujung bukit menjadi saksi akan risaunya hati merasakan perbedaan sikap suamiku. Tak dingin namun juga tak hangat, lebih terkesan bimbang pada setiap gerak-gerik yang kami lakukan. Ku tenggelamkan wajahku dalam dadanya, menghambur erat dalam peluknya. Harap dia membalas pelukku seperti biasa. Namun suamiku malah terdiam kaku membiarkan hujan mendera membasahi pipi tanpa sedikitpun menyentuh punggungku.

Otomatis tanganku terlepas beralih menggenggam lembut jemari yang sedari tadi menyamping dari pangku.
Kembali dia membalas tatapku, begitu lembut dan syahdu. Senyumnya begitu tulus walau tipis, sungguh! Kali pertama aku membenci senyuman yang tercipta dari dia.

"Mas, kau kenapa?" tanyaku mengiringi deras air mata yang menitik pada untaian kain yang ku kenakan. Dia menggeleng, senyumnya masih tetap seperti semula. Sikapnya sangat menyiksa, tangisku kembali pecah disertai sengguk-sengguk kecil keluar menandakan tak tahannya hatiku menahan khawatir dalam dada.

"Jangan menangis, Ra," lembutnya mendekapku. Bisa dirasa nafasnya memburu ketika memelukku. Di belakang sana begitu gelap, di antara kami hanya ada cahaya dari dalam tenda juga karena terpaan sinar bulan yang mau mengasihi.

Walau tak sepenuhnya namun sedikit tenang hatiku ketika mendengar suaranya muncul kembali, "Jangan menangis...." Sangat lembut ketika suaranya berbisik disertai belaian lembut di pucuk kepalaku.

DUARR!!!

Lamunan tentang semalam perlahan hilang saat asap memenuhi ruang mobil depan. Disisa tenagaku yang ada berusaha ku menolehkan kepala, ternyata sebuah mobil berwarna putih menabrak keras bagian belakang mobil kami.

Aku terbatuk melirik pada arah dasbor yang runtuh mengenai kaki dan betisku, tak luput juga aku menoleh ke arah suamiku yang penuh dengan lumuran darah karena kaca mobil yang pecah dan menusuk dadanya. Air mataku menitik sesaat sebelum terdengar suara ledakan dan semuanya menjadi hilang tertelan hitam.

Author Pov

Sebuah mobil berwarna putih dengan laju menabrak jenis di depannya, mereka menyatu hingga mobil yang satu terdorong keras dan menelusuk pada toko kelontong di samping jalan, semua orang tercengang ada yang berteriak histeris dan lari terbirit-birit ada juga yang heboh-heboh sendiri tak mengerti harus melakukan apa pada kejadian di seberang sana. Ledakan mobil berdentum dengan kerasnya menggegerkan sebagian warga juga mengurungkan niat sebagian orang untuk menolong mereka yang di dalam sana.

Sirene ambulans dan pemadam kebakaran datang bersahutan, kabarnya salah satu satu sopir dari kedua mobil tersebut meregang nyawa di tempat kejadian. Sebagian dari warga dibawa oleh kepolisian 'tuk dijadikan saksi dalam peristiwa kecelakaan, sebagian yang lain meringis ngeri pada korban yang lebih mirip jenazah tergotong dalam brankar. Tiga korban tersebut dimasukkan terpisah pada tiga ambulans. Polisi begitu sibuknya menenangkan warga dan mencari identitas si korban, wajah mereka hangus terlalap api hingga tak lagi dikenal.
Berita mengerikan itu sudah sampai diseluruh station televesi tanah air, keluarga dari masing-masing pihak dihubungi setelah mendapat informasi.

Dunia serasa hancur ketika Ziad mendengar tentang kecelakaan yang menimpa adik semata wayangnya itu, tak habis fikir Allah menimpahkan dua musibah besar dalam satu tahun yang sama; pertama kematian sang mama dan kedua kabar kecelakaan adik tersayangnya, Zahra.
Tangis Mita menjadi namun tak membiarkan tangisnya mengganggu sang suami yang sedang menyetir bak seorang pembalap yang sering kali muncul di channel-channel televisi.

Di lain tempat Ersa sang ayah juga tak kalah shoknya mendengar kabar tentang putrinya tersebut. Hampir saja ia strok jika tak ingat ada yang lebih penting dari pada kaget dan ikut-ikutan sakit, yaitu sang putri. Tangannya bergetar sembari mencari kunci mobil yang dengan ajaib menghilang saat dibutuhkan. Saat berhasil kunci itu digenggamnya cepat-cepat Ersa berlari tak memedulikan lututnya yang kerap kram akhir-akhir ini, yang ada dalam pikirannya kali ini hanya Zahra. Zahra seorang.

Semua keluarga rampung sudah berada di rumah sakit bakti indah, mereka semua saling bertanya bagaimana keadaan Rizal dan Zahra, padahal jelas sudah mereka datang bersama-sama sejak di parkiran tadi.

Kalimah dzikir terus terbisik di lisan setiap pengunjung yang menunggu salah satu keluarganya yang tengah kesakitan. Mita dan Daniar; ibu Rizal saling berpelukan berusaha menguatkan satu sama lainnya.
Sementara para kaum adam di antara mereka hanya mondar-mandir tak tentu arah menunggu kepastian dari dokter yang tengah sibuk bermain dengan para alat medis.

Lampu berganti hijau tanda masa pembedahan telah usai, semuanya bernapas legah walau tak sepenuhnya. Mita dan Daniar segera beranjak dari duduk dan ikut mengepung seorang pria pengguna jas putih itu yang baru saja keluar dari ruang rawat operasi.

"Bagaimana keadaan anak dan menantu saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" desak Daniar tak membiarkan siapapun mendahuluinya untuk bertanya.

"Mohon untuk tenang dulu," ujar dokter itu merentangkan tangan depan dada tanda agar mereka sedikit tenang. Namun sepertinya itu semua tak berlaku untuk kedua wanita yang tambah heboh akan perkataan pria itu.

"Tenang bagaimama?! mereka berdua terbaring lemah disana dan Anda menyuruh kami untuk tenang?" geram Mita sesekali menunjuk ke sembarang arah. Jika saja aksinya tak segera dihalang oleh sang suami mungkin akan terjadi pergelutan antara seoarang kerabat pasien dengan dokter rumah sakit ini.

Dokter itu menghela napas gusar dan segera menjelaskan pada Ersa dan Dziran; ayah Rizal. "Jadi seperti ini--" Perkataan sang dokter terpotong oleh ketaksabaran Mita yang memuncak di ubun kepalanya, "Bagaimana? Cepat jelaskan jangan berbelit dan membuat kami penasaran!" ketus Mita tak sabar, Ziad hanya mampu mengatakan ucapan penenang pada Mita, karena ia tahu bagaimana jika istrinya tengah panik dan marah.

"Untuk pasien yang bernama Rizal mengalami pendarahan pada jantung hingga menyebabkan koma yang tidak bisa kami prediksi jangkanya.
Dan untuk pasien bernama Zahra, mengalami gegar otak-- "

"Jadi apa itu berarti adik saya akan mengalami amnesia, Dok?" Tangis Mita kembali pecah, ia tak peduli akan penjelasan yang belum terselesaikan.

"Biar saya jelaskan, gegar otak yang dialami pasien tidak sampai menyebabkan amnesia, tapi mungkin butuh terapi ekstra dan juga usaha agar tidak terlalu banyak memikirkan sesuatu yang berat, kalau tidak efeknya bisa berakibat fatal," jelas dokter itu panjang lebar.
Pria itu pamit permisi, mungkin berusaha menghindari amukan kerabat yang masih frustasi akan musibah yang terjadi.

***

Bulan dan mentari sudah tiga kali berganti posisi namun Rizal dan Zahra belum juga membuka mata pasca operasinya waktu lalu.
Detak layar pendeteksi jantung memenuhi setiap sudut ruangan, hanya dua kali sehari keluarga Rizal boleh menjenguk tubuh yang tengah lemah terkapar. Semua itu juga berlaku pada pasien yang menderita gejala parah, termasuk Zahra.

Daniar menatap sendu putranya yang terbaring di sana, wanita paru baya itu hanya bisa memastikan Rizal lewat kaca jendela.
Tak hentinya bulir bening itu mengalir membasahi wajah berkerutnya, matanya sampai sembap memikirkan Rizal dan Zahra. Tangannya merogoh tas yang ditentengnya, ia hendak menelpon sahabatnya Rahma, namun ia urungkan dan tangisnya semakin menjadi karena baru ingat bahwa Rahma ibu Zahra sudah meninggal beberapa bulan lalu.

Sementara Mita juga tak kalah menyedihkan dibanding yang lain, rasa sayang Mita terhadap Zahra sudah sama persisnya seperti seorang kakak pada adik kandungnya. Bahkan nafsu makannya berubah derastis sampai-sampai harus dipaksa oleh Ziad sang suami.

Duh pilunya keluarga ini, mereka harus tabah akan ujian yang menimpa. Tak terkira betapa Allah sayangnya pada mereka hingga deraian air mata tumpah begitu saja di atas sajadah para pecinta.

_____
UP!

Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang