19

257 7 1
                                    

Bersabar bukan perkara mudah jika masalah begitu besar menerpa.
Masalahpun bukan perkara besar jika kita tahu akan kebesaran-Nya.

🌼-Takdir Cinta-🌼

Dua pasang mata itu berbinar saat kendaraan roda empatnya berhenti di samping kisi-kisi berwarna coklat tua.
Ramai-ramai sepasang manusia itu di antar oleh kedua kerabat masing-masing. Mulutnya berujar puji pada sang Ilahi, pada saat kakinya menapaki pekarangan yang sudah lama menanti.

Tak ada yang lebih indah dari tempat yang bernama rumah, walau terlihat sawang dan debu menghuninya. Zahra menggigit bibir bawah bagian dalam, tangannya masih melekat pada lengan Rizal untuk melengkapi keseimbangan, lebih tepatnya saling menuntun untuk berjalan. Telunjuk Zahra mengusap meja penuh vas, ia menggeleng kecil merasa prihatin terhadap kotornya rumah selama di tinggal.

Daniar yang melihat ekspresi menantunya, tertawa kecil dari arah dapur. Sedang keluarga yang lain sudah enak bersantai depan tv, ada yang sibuk menguap juga ada yang hanya berbaring di sofa menikmati acara di layar kaca, termasuk Ziad dan Mita.

"Hati-hati," kata Rizal ketika mereka berdua mulai menaiki anak tangga.

"Kau juga," balas Zahra melirik sejenak ke arah suaminya.

Selangkah demi selangkah mereka berdua berjalan beriringan menuju kamar. Tak henti Zahra mengedarkan pandangan sebagaimana dulu ia dibawa oleh Rizal sebagai pasangan. Zahra tersenyum mengingat waktu itu Zahra menolak keras akan pernikahan yang segera terlaksana. Memang benar Allah Mahamembolak-balikkan hati, buktinya sirahnya saat ini bagai komika remaja yang berujung cinta, tak peduli seberapa menolak si pemeran utama.

"Aku merindukan kamar ini," celetuk Rizal membuyarkan ingatan.

Rizal merebah pelan, melepas rindu pada kasur empuk berlapis tosca. Rasanya Rizal ingin segera menutup mata, melepas penat selama berabad-abad bagai terkurung dalam penjara. Namun niatnya ia urungkan karena ingat akan keluarganya yang menunggu di bawah.

Rizal melirik Zahra yang berjalan gagap menuju bilik mandi. Perasaan tak tega mengerubungi, hingga dengan berat hati ia bangkit dari rentangnya, tuk membantu sang istri membersihkan diri ke kamar mandi. Mungkin juga tak ada guna, karena Rizalpun tak bisa berbuat apa-apa, seperti menggendong Zahra atau sebagainya. Namun setidaknya ia ada di samping Zahra saat kesusahan begitu.

"Mas juga mau mandi?" tanya Zahra masih terus berjalan saat Rizal tepat berada di sampingnya.

Rizal menggeleng. Ia menginstruksikan sebelah tangan Zahra agar melingkari pinggangnya. Zahra tersenyum heran, apa Rizal mengajak berdansa di tengah badannya yang masih sakit begini, pikir Zahra.

"Aku ingin membantumu berjalan," jawab Rizal cepat ketika Zahra menghentikan ayunan langkahnya.

"Tidak usah, Mas. Lebih baik kau istirahat." Tangan Zahra menyentuh lembut dada Rizal yang terluka. Di tengah dramatis mereka, terlihat Mita menyembulkan kepala tanpa ketukan pintu terlebih dahulu. Entah niat apa yang membuat wanita itu menjadi pengganggu, namun Mita terlihat kikuk melihat pemandangan itu.

"Kalau sudah selesai, cepat kalian turun. Tante Daniar sudah siapkan makanan."

Zahra dan Rizal menatap bergantian melihat Mita yang salah tingkah dan berlalu begitu saja. Hening beberapa saat sebelum akhirnya tawa mereka pecah mengisi setiap ruangan sampai bawah.

"Sepertinya Kak Mita malu?" bisik Zahra yang dibalas anggukan geli oleh Rizal.

___

Denting sendok beradu lawan dengan benda bundar, mengisi acara makan-makan mereka. Sesekali tawa renyah juga ikut menjadi pengisi di tiap suapnya. Tak bisa dipungkiri perasaan senang menggebu di hati Zahra ketika melihat keluarganya berkumpul secara sempurna, walaupun tanpa Ersa dan Rahma.

Sepertinya parkiran mobil di depan sana memancing atensi seseorang untuk datang. Wajah ceria terpampang jelas pada perempuan berperawakan semampai.
Langkahnya tergesa ingin cepat sampai menemui sahabatnya yang katanya sudah mendingan. Walau lelah menyelimuti tubuhnya setelah datang dari bekerja, namun tak menggentarkan langkah menuju si sahabat tercinta.

"Siang!" sapanya mengalihkan minat pandang mereka yang sedang melahap hidangan.

"Risa! Ayo bergabung kemari," ramah Daniar langsung menatakan makanan untuk perempuan yang baru saja datang.

"Tidak usah, Tante. Saya sudah kenyang."

"Pamali jika menolak rezeki," seloroh Zahra disertai senyuman lebar, dan dibalas anggukan membenarkan oleh Daniar. Risa menurut saja, guratan malu terlihat jelas di wajahnya.
Rambut lurus sepunggungnya menyentuh permukaan kursi yang diduduki, sejenak perempuan itu menjadi sorotan sebelum akhirnya kembali berfokus pada santapan.

"Dokter bilang, besok Rizal harus datang ke rumah sakit," terang Mita menatap sekilas pada yang dimaksud. Rizal hanya mengangguk patuh tanpa mempertanyakan.

"Zahra yang akan mengantar Mas Rizal. Iya kan, Mas?" Zahra menyikut lengan suaminya, hampir saja nasi dalam sendok itu masuk melalui hidung. Rizal memejamkan mata sejenak, menahan sabar sebelum mengangguk mengiyakan.

"Zahra istirahat saja. Zahra, kan, tidak bisa menyetir sedangkan Rizal belum boleh menyetir sendiri."

"Ya sudah kalau begitu Zahra tetap ikut, Ma. Zahra masih bisa duduk di samping Mas Rizal." Zahra tertawa pelan, kembali menyuap suapan terakhir di piring.

"Jangan, Ra. Istirahat saja, Ra belum sepenuhnya sembuh. Mengerti?" jelas Daniar berharap menantunya itu mengerti tentang kekhawatirannya.

"Besok Risa ada waktu senggang?" tanya Daniar tiba-tiba mengganti lawan bicara.

"Uhm, mungkin...," jawab Risa ragu-ragu.

"Kalau begitu bisa temani Rizal berobat, kan? Kasian Zahra, dia masih harus istirahat."

"Tapi Zahra tidak apa---"

"Sudah ya, Zahra nurut sama Mama," sela wanita paru baya itu tak membiarkan menantunya protes barang sedikitpun.

Mita yang menangkap rasa cemburu di mata adik iparnya itu, hanya bisa menatap risih ke arah Risa. Sedang Ziad malah membenarkan perkataan Daniar. Sungguh pikiran para lelaki sama saja di dunia ini, batin Mita berencana memerangi suaminya di rumah nanti.

Tak perlu ditanya seperti apa perasaan Zahra. Mulutnya keluh menatap emosi pada perempuan di sebrang sana, ditambah tidak ada penolakan dari keduanya. Tentu mampu membuat tenggorokan Zahra tercekat bak menelan batu dengan gila.
Serasa tak ada satupun makhluk yang mau membela, hingga iapun memilih pamit ke kamar tanpa menghiraukan kedatangan sahabat. Seharusnya jika mereka manusia, tentu sudah mengerti pada hati Zahra yang terluka.

Seakan sakit yang dirasa bukan lagi apa-apa jika dibanding dengan perihnya di dada. Zahra memilih membekap mulut di depan pintu kamar mandi yang terkunci. Tega sekali mertuanya itu menyuruh Rizal suaminya ditemani oleh perempuan lain. Tak adakah sedikit rasa peka sebagai mereka yang sesama wanita? Bahkan Rizal selaku yang bersikap paling mengerti pada hati Zahra menjadi bungkam dengan alasan yang Zahra tebak 'tidak bisa apa-apa'.

Tangisnya meredam, sebatas beberapa kata aduan pada sang Rabbi dalam hati.

"Retak di kepalaku saja belum sembuh, lantas mengapa Engkau tambah dengan cacat lain di hatiku?" protesnya tak bisa menahan diri.

Ia tahu setiap hal apapun yang menyakiti dirinya, hanyalah sebatas ujian dari Allah. Zahra sangat mengerti jika ia bersabar akan ada hikmah di balik ini. Namun kembali lagi, Zahrapun sama dengan mereka, wanita biasa yang tak selalu kuat akan ujian yang menimpa. Hatinyapun terluka walau sejak dulu hidupnya terbiasa dengan cedera yang menganga.

Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang