Part 14

199 7 0
                                    

"Nikmat sujud kan terasa bila engkau tak lagi bisa melakukan karena suatu ujian menghalangi dirimu bersungkur cerita kepada sang Ilahi Rabbi."

-Zahra-

Malam kembali menepati janji, di heningnya malam Ziad bermunajat kepada Allah Rabbal 'Alamin agar ridha-Nya terus menyertai pada tiap-tiap ujian yang menimpa keluarganya. Ia juga meminta agar sang adik di kuatkan lahir dan batinnya menghadapi musibah yang menjalar di tubuhnya, pun untuk Rizal.

***

Hampir tiap jam terjadi percekcokan antar Mita dan para dokter yang datang memeriksa Zahra.

"Sus, bagaimana keadaan adik saya?" Tangan Mita begitu kuat mencengkeram pergelangan bajunya sendiri, sudah yang keberapa kali ia menanyakan hal serupa pada suster-suster atau dokter yang lewat di hadapannya hingga merekapun lengah sendiri menjawab hal sama hingga pada akhirnya mereka lebih memilih mengabaikan.

"Dokter mau memeriksa keadaan Zahra?" tanya Mita lagi tak henti berharap dokter itu mengatakan 'ya'.

"Ya," ungkap dokter itu dan berlalu masuk, Mita menghela napas legah rasanya ia lebih tenang jika Zahra terus-terusan diperiksa. Sementara itu Mita hanya bisa memastikan Zahra lewat kaca.

Entah suntikan obat yang keberapa masuk dalam tubuh Zahra, dokter itu masih tak henti menambah tusukan di lengan si pasien, mungkin jika Zahra sadar ia akan berteriak histeris pada jarum suntikan.
Sesekali stetoskop mendarat di bagian dada Zahra.

Allah sungguh tahu mana waktu yang tepat untuk memulihkan tubuh Zahra, wanita itu beberapa kali mengerjap sebelum sang dokter berlalu keluar. Sang dokter sedikit terkejut dan sontak mempercepat tangannya untuk menggeledah peralatan lain, selang beberapa detik beberapa orang perempuan ikut masuk dalam kamar Zahra entah dari mana dokter itu memanggil para susternya.

"Anda bisa melihat saya?" Itu yang pertama kali dokter tanyakan pada Zahra yang masih mengontrol otaknya. Zahra hanya mengangguk lemah.

"Nama Anda siapa?" tanya suster yang satu setelah diberi isyarat oleh si pemandu.

"Zah-ra," ucapnya terbata, tenggorokan Zahra begitu pekat namun tak ada satupun di antara mereka yang mau berbelas kasih memberikan setetes air pada Zahra.

"A-air ... air...." Kepalanya melenggak-lenggok kekanan dan kekiri, sesekali ia menarik pergelangan baju si dokter agar didengarkan. Di tengah sibuknya pria itu mengerjakan obat yang entah apa, tangannya menuangkan air dari botol kaca berukuran kecil pada sendok putih di tangannya, ia menyodorkan obat bening itu ke arah Zahra. Tanpa pikir panjang Zahra langsung menyeruput habis air itu.

Sebenarnya tenggorokannya masih kehausan tapi sesendok air tadi sudah lebih dari cukup dari pada tidak sama sekali. Denyut di kepalanya mulai terasa, ruangan putih dengan sedikit dekor bunga lili berwarna merah mudah itu seakan berputar dengan cepatnya, tangannya terangkat memegang erat kepala penuh perban, rintihan ketakutan lepas begitu saja dari mulutnya jari kakinya mengkeriting menahan sakit.

Dokter itu melambai-lambai di depan mata Zahra memastikan keadaan yang tak baik-baik saja, begitu dahsyatnya pusing yang dirasa, sampai-sampai kepala dokter itu ada tiga.

Zahra mengikuti perkataan pria itu supaya menarik napas dalam dan berusaha tenang, benar saja semua kembali seperti semula. Nyerinya kian pudar putaran tadi juga mulai normal. Dua orang suster keluar dari ruangan, dalam kamar hanya menyisakan satu suster dan pria itu.

Sedang Mita dipenuhi rasa cemas, tangannya tak henti meremas jemarinya yang satu. Sesekali Mita menggigit kuku saat mendengar teriakan Zahra dari dalam tadi. Tangan Mita dengan cepat menyentuh ikon-ikon nomer pada ponsel, ia ingin menelpon Ziad agar lekas sampai kesini, Mita tak tahan jika harus menangis sendirian.

Kembali lagi pada Zahra yang menolak keras untuk di cumbuhi jarum suntikan, air matanya sampai bercucuran tak ingin benda tajam itu menusuk kulitnya yang memar.

"Suster." Pria itu memberi isyarat dengan sekilas mendongakkan kepala. Suster hanya bisa mengangguk dan segera memegangi lengan Zahra yang sudah setia mengamuk pelan.

"Mau cepat sembuh, kan?" tanya dokter menggunakan nada bujukan. Zahra bagai anak kecil yang menangis namun tetap mengangguk karena ia benar-benar ingin cepat keluar dari tempat mengerikan. Terlihat dokter itu menyunggingkan senyum dari balik masker hijau yang menutupi sebagian wajahnya.

"Sudah," ujar penyuntik yang menurut Zahra menakutkan. Mereka berdua segera keluar menyisakan Zahra sendirian, napasnya teratur tenang mengingat sumber ketakutan sudah hilang tertelan pintu yang tertutup dengan rapat.

Zahra sempat kembali takut saat melihat pintu itu terbuka kembali namun takutnya hilang ketika yang datang adalah orang-orang tersayang, Ziad dan Mita.

"Kamu tidak apa-apa, kan?" Lembut sang kakak memeluk adiknya, begitu manis terlihat dari cara Ziad menuai kasih pada si adik. Dengan penuh kasih Mita dan Ziad membantu Zahra untuk duduk sembari menyandar pada dipan brankar.

Meremah air mata Ziad tak kuasa melihat wajah adiknya yang penuh balutan. Tangannya mengelus bagian kepala Zahra yang luka dengan sangat pelan, Zahra hanya tersenyum melihat tingkah sang kakak yang terlewat khawatir.

"Zahra baik-baik saja, Kak," yakin Zahra, diakhiri senyum kaku karena wajahnya di penuhi luka-luka.

"Zahra! Bisa kan? Tidak usah mengatakan baik-baik saja, di saat seperti ini?" geram Mita disertai luruhan air mata, terlihat berlebihan jika hanya sebatas dilihat. Namun sungguh itu semua tak cukup jika diri sendiri yang merasakan.

"Iya Kak Mita, Zahra minta maaf," lirihnya masih bisa berlagak manja, Mita tertawa kecil seraya menghapus air matanya samar.

"Kak, Mas Rizal bagaimana? Sekarang dia dimana? Zahra ingin melihat keadaannya."

Sepasang kekasih itu tak bergeming, saling tatap dan kembali bisu itu yang mereka lakukan. Hanya engapan napas gagal terdengar membuat si adik semakin penasaran.

"Kak." Zahra menatap bergantian Ziad dan mita. "Antar Zahra menemui Mas Rizal," pinta Zahra.

"Zahra kau masih belum bisa kemana-mana," jelas Mita mewakili Ziad yang hanya bisa melongoh akan permintaan Zahra. Benar saja! Zahra tak bisa apa-apa, bahkan kakinya terasa sakit dan kaku walau hanya sebatas untuk digerakkan. Mungkinkah kakinya lumpuh? Itu berarti ia tak sesempurna dulu lagi, pikir Zahra.

Mereka bertiga memandang pada arah sama, jendela, ketika panggilan sholat subuh dikumandangkan, masjid di seluruh kota serempak bersahutan menyebut mengagungkan Allah yang Mahabesar.

Lisan para ummat muslim yang mendengar segera menyahuti panggilan tersebut, jawaban akan agungnya Tuhan hampir serempak terlaksanakan. Tak terkecuali yang sakit sekalipun, selama masih sadar dengan susah payah mereka memenuhi panggilan indah Allah Al-'Aziiz. Mita dan Ziad berpamitan untuk melaksanakan sholat di musala rumah sakit, Zahra hanya mengangguk dan ikut serta melakukan kewajiban walaupun ia hanya bisa melakukan sambil duduk.

Zahra tuaikan segala keresahan dalam dadanya setelah selesai menyebut salam ke kanan dan ke kiri.

"Duhai Allah cahaya di atas cahaya, jadikanlah segala musibah yang menimpa aku dan keluargaku menjadi perantara lunturnya dosa-dosa yang menumpuk dalam jiwa. Jadikan aku hamba yang mematuhi dan sabar atas segala kehendak-Mu. Yang mampu menerima pahit-manisnya takdir-Mu.

Wahai Allah, jadikan hatiku berpikir bahwa semua yang terjadi adalah takdir cinta akan ridha-Mu." Panjatan doanya ia akhiri dengan mengusap wajah, air matanya menetes membasahi luka-lukanya yang membengkak, sekelebat rasa perih menyeruak di antara ribuan goresan luka besar di sana. Namun semua kembali terlupakan jika mengingat akan nikmat sujud yang tak bisa ia lakukan saat ini.

"Nikmat sujud kan terasa bila engkau tak lagi bisa melakukan karena suatu ujian menghalangi dirimu bersungkur cerita kepada sang sang Ilahi Rabbi," ucap Zahra dalam hati bermonolog manasehati dirinya sendiri.



____
Up!

Takdir Cinta [BAKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang