***
**
*
Aku langkahkan kakiku menuju kafe untuk menunggu. Tak perlu waktu lama untuk sampai. Cukup menyeberang satu ruas jalanan besar yang cukup ramai dengan kendaraan lalu lalang.
"Selamat pagi, Tuan. Mau lihat menu atau langsung memesan?" sapa satu pelayan dengan ramah.
"Satu americano dan satu wafel madu," ucapku mantap.
"Silakan tunggu sebentar," ucap pelayan itu lagi.
Aku tak perlu menelusuri daftar menu. Beberapa kali datang ke tempat ini—sejak kasus perceraian laki-laki yang diam-diam kucintai dengan si laki-laki berengsek—membuatku cukup hafal dengan apa yang cocok dengan seleraku dan juga selera laki-laki yang diam-diam kucintai. Dia sendiri suka dengan menu roti panggang bluberi dan espresso.
Sambil menunggu pesanan, kuedarkan pandanganku untuk melihat kendaraan lalu lalang dari jendela kafetaria. Aroma kopi dan roti menusuk hidung sejak masuk ke cafetaria ini. Menenangkan.
"Satu americano dan satu wafel madu. Ada lagi yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya pelayan itu kembali dengan ramahnya.
Aku hanya menggeleng lalu berterima kasih.
Cukup lama aku menikmati waktu yang cukup luang sambil menunggu laki-laki yang diam-diam aku cintai.
Tanpa terasa semua pesananku sudah habis.
Aku kembali menatap layar ponselku yang menampilkan wajah indahnya.
Aku buka folder di galeriku. Kupandangi satu-persatu foto yang ada di dalamnya.
Satu foto dengan senyuman senangnya ketika jamuan makan malam, awal dia bertemu dengan laki-laki berengsek itu. Tubuhnya terbalut kemeja sederhana tapi tampak bagus. Rambutnya tertata apik dengan senyuman bahagia yang membuat wajahnya seribu kali lebih indah. Dia sangat indah dan memesona.
Di foto berikutnya terlihat dia mengenakan baju adat berwarna kuning pucat. Dia tersenyum ke arah kamera dengan gaya yang manis. Foto ini diambil ketika dia membuat foto pre-wedding untuk dipajang di acara pernikahannya dengan si Berengsek. Dia terlihat sangat menawan. Foto inilah yang kuatur menjadi penghias layar ponselku.
Di foto berikutnya tampak dia tersenyum senang berdiri berdampingan dengan laki-laki berengsek itu di hari pernikahannya. Seandainya bisa kuputar waktu, ingin sekali aku menghalangi pernikahan itu, sehingga dia tak perlu menderita seperti sekarang.
Foto berikutnya terlihat dia sedang berdiri berdekatan dengan si laki-laki berengsek itu ketika ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Senyuman ceria seperti di foto pertama dan kedua tidak lagi menghiasi wajah indahnya. Hatiku hancur melihat foto ini.
Demi apa pun di dunia ini, terlebih demi kebahagiaannya, dia harus bercerai dengan si Berengsek dan mendapatkan kebahagiaan dengan orang yang lebih mencintainya sepenuh hati.
Layar ponselku menunjukkan nama laki-laki yang diam-diam aku cintai. "Halo ..." sapaku padanya.
"Di mana?"
Napasku tercekat. Suaranya serak. Sepertinya dia menangis hebat ketika mediasi. Dia bahkan benar-benar tidak fokus dengan apa yang kuucapkan tadi. Aku sudah menyebutkan kalau aku akan menunggu di kafetaria.
"Di kafe seberang jalan," ucapku sambil melihat ke luar jendela. "Sudah selesai?" sambungku bertanya.
Kulihat dia berdiri di depan kantor pengadilan seberang jalan, lalu melangkahkan kaki mendekati ruas jalan utama. Langkahnya sedikit lemah dan dia terus memegangi kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Chanjin ― Alexithymia Love
FanfictionHyunjin harus menerima takdir untuk dijodohkan dengan seorang penderita alexithymia. Ia ingin bertahan dan yakin bisa bahagia bersama suaminya. Namun, kenapa ia lebih banyak menangis ketimbang bahagia? Akankah Hyunjin sanggup menjaga pernikahannya s...