4: Berita Pagi

984 144 21
                                    

NB: agar tidak bingung, mulai dari part 4 alur cerita akan mundur dari timeline part 1-3 dan mengalir hingga ujungnya ketemu dengan timeline part 1-3 lalu lanjut ke timeline sesudahnya.


***

**

*


"Mom, aku ingin menikah."

Ucapan Bangchan berhasil menggagalkan proses menelan Yongsun, sang ibu. Wanita berwajah cantik itu tanpa terkendali menyemburkan teh hijau yang baru saja dia sesap. Dengan suara batuk heboh Yongsun meletakkan cangkir yang beberapa saat lalu dipegang dengan elegan.

Asisten rumah tangga yang menyadari keributan ini dengan sigap datang mengelap meja sisa semburan teh hijau sang tuan rumah. Rasa jijik sudah tidak ada lagi. Nenek Choi, wanita usia 50 tahunan itu, sudah seperti ibu bagi orang tua Bangchan, dan Bangchan pun sudah menganggapnya nenek.

Tanpa banyak bicara Nenek Choi mengangkat roti panggang yang tadinya kering dan renyah, kini menjadi sedikit becek dan tak lagi tampak menggiurkan. Tentu saja itu karena semburan teh hijau tadi. Agak jijik bukan?

Namun tidak bagi Nenek Choi.

Mari kembalikan perhatian ke Yongsun. Wanita yang tetap cantik walau hanya dalam balutan baju tidur itu kini mengelap mulutnya dengan kain berwarna putih yang terletak di samping tangan kanannya. Tanpa merespon perkataan anaknya, Yongsun langsung berlari meninggalkan ruang makan. Tinggallah Bangchan sendiri di ruang makan walaupun dia sebenarnya sedikit bingung, wajahnya tampak tenang.

Dia mengembuskan napas sejenak untuk kemudian lanjut menyantap roti panggangnya sambil membelai layar tablet. Membaca berita harian dan juga mengecek e-mail. Kebiasaan di pagi hari yang menemani sarapannya. Biasanya ada e-mail yang masuk tengah malam dan baru sempat dicek pagi hari. Dari klien di luar negeri misalnya.

"Yeobo!"

Teriakan mantap Yongsun dengan jelas terdengar ke dapur.

Bangchan meneguk kopi hitamnya tanpa mengurusi keributan pagi hari yang baru saja sampai di telinganya. Yang ada di pikiran Bangchan hanyalah "Berisik sekali". Tampaknya dia tak sadar kalau sikap berisik ibunya adalah hasil dari ujaran tiba-tiba darinya beberapa menit lalu.

"Yeobooo! Cepat turuuunn!! Kalau dalam hitungan ketiga kau tak muncul juga akan kuhajar kau!!" Lagi, ibunya berteriak. Kali ini dengan ancaman. Ayahnya itu memang terkenal sangat susah untuk bangun pagi. Ibunya pun terlalu malas untuk naik ke lantai dua hanya untuk sekadar memanggil suaminya yang sering tertidur di ruang kerja.

"Yoondo-yaa!!" teriak Yongsun semakin besar. "Satu!"

Gawat, ibunya sudah mulai menghitung dan memakai nama asli ayahnya. Dengan segera Bangchan menghabiskan roti panggangnya. Dia tak mau kembali menyaksikan dua insan yang sudah berumah tangga hampir 30 tahun itu saling membunuh. Mereka saling mencintai. Tanpa ragu hal itu bisa dengan jelas dilihat. Namun untuk beberapa hal, mereka memang sangat jauh berbeda, bagai dua kutub yang berseberangan.

"Dua!!" teriak ibunya kini mulai menginjak anak tangga.

Bangchan kembali menghela napas panjang. Selama 28 tahun umur hidupnya, dia sudah hapal betul tipikal orangtuanya. Ayahnya tidak akan bergerak sebelum hitungan ketiga.

"Ti—"

"Yongsun-ah ... ayolah aku masih mengantuk!" ucapan Yoondo, ayah Bangchan, berhasil memotong hitungan mematikan Yongsun. Yoondo muncul di ujung atas tangga, masih dengan selimut yang membungkus badan separuh telanjangnya. Tanpa atasan, hanya celana pendek sepaha. Rambut dengan aktif mengarah ke segala penjuru.

[✓] Chanjin ―  Alexithymia LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang