***
**
*
Masih dengan surat dari Hyunjin di tangan, aku menundukkan kepalaku yang kini terasa mengambang. Mungkin karena begitu kaget, aku tak mampu berpikir lagi. Aku hanya bisa merasa hidung dan mataku panas. Persendian juga terasa nyeri. Ada air yang memaksa keluar dari indra penglihatanku.
Bisa-bisanya dia tetap merasa bahagia bersama laki-laki berengsek itu. Fakta itu terus mengulang di kepalaku. Dia bodoh. Padahal di luar sana banyak kebahagiaan yang bisa dia capai. Hyunjin oh Hyunjin, my love.
Entah kenapa air mataku terus mengalir ketika aku tahu bahwa Hyunjin mencintai laki-laki brengs—suaminya itu.
Aku tak pernah menyadari bahwa dia mencintai suaminya.
Suara debuman pintu terbuka dengan paksa cukup mengagetkanku. Pikiran sepihakku terputus. Aku hapus air mataku secara kasar.
"Baby ... are you okay?"
Satu sosok yang tadi membanting pintu dengan kasar langsung melangkah lebar menghampiri Hyunjin. Berkali kali dia mengusap pelan wajah Hyunjin. Namun tak ada reaksi dari Hyunjin. Dia masih tertidur pulas.
Sosok itu beralih menatapku. Dia berdiri dengan tegak lalu memandangku dengan tatapan tajam. Dua telapak tangan dia selipkan di saku celana. Wajah tampan orang itu dalam sekilas berubah menjadi bengis saat menyadari keberadaanku.
"Kau lagi rupanya," ucapnya dengan satu decakan sinis dan tatapan tajam yang tak terputus.
Dia memang dengan jelas-jelas menunjukkan kebencian padaku. Terlebih setelah prahara perceraian ini mulai membuat Hyunjin menderita dan mendorongku untuk selalu menemani Hyunjin, laki-laki yang diam-diam aku cintai.
"Kenapa?" tanyanya dengan nada geram. Dia bergerak melangkah mendekatiku dengan tenang, seolah ingin mengintimidasi. "Merasa punya kesempatan?" tanyanya lagi sambil melipat tangan di dada. Tatapan matanya masih begitu tajam dan angkuh.
Aku memilih diam dan tak bersuara. Aku tak mau membuat keributan dan mengakibatkan Hyunjin terganggu dari istirahatnya.
"Bisa jelaskan padaku, kenapa dia bisa seperti ini? Dan ... kenapa kau ada di sini?!" Pertanyaan barusan dilontarkan dengan penuh penekanan. Kulihat rahangnya mengeras ketika bicara padaku.
Aku menghela napas. Kubalas tatapan matanya tanpa ada niat melawan. Aku tahu posisiku salah di sini.
"Aku hanya menemaninya memenuhi panggilan mediasi," jawabku pelan tapi lugas. Ketika dia mendelik tajam padaku, aku pun menjelaskan, "Dia yang memintaku untuk menemaninya. Aku bahkan masih pakai pakaian proyek." Aku menunjukkan sepatu dan celana banyak saku yang memang biasa kupakai jika sedang berada di lokasi proyek.
Pria itu menutup matanya sebentar lalu mengembuskan napas panjang. Dia beralih menatap wajah Hyunjin sambil sesekali mengelusnya.
Melihat pria itu dengan bebas mengelus wajah Hyunjin membuatku iri. Sisi dalam diriku meronta. Aku ingin melakukan hal itu juga.
Merasa sosok berwajah tampan itu sudah tenang, aku kembali melanjutkan omonganku dengan hati-hati. "Aku memberinya surat. Kurasa dia butuh dorongan untuk memenuhi gugatan cerai, lalu—"
"Apa?!" Sosok memotong bicaraku. "Kau memberinya surat untuk itu?" lanjutnya lagi.
Kulihat sosok itu mengepalkan tangannya lalu menghampiriku. "Seenaknya saja kau!" desis sosok itu penuh kegeraman tepat di depan wajahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Chanjin ― Alexithymia Love
FanfictionHyunjin harus menerima takdir untuk dijodohkan dengan seorang penderita alexithymia. Ia ingin bertahan dan yakin bisa bahagia bersama suaminya. Namun, kenapa ia lebih banyak menangis ketimbang bahagia? Akankah Hyunjin sanggup menjaga pernikahannya s...