***
**
*
Suara ketukan pintu menarik Hyunjin dari lamunannya.
Saat ini, dia sedang sendiri di kondo. Setelah pamit ke toilet, hingga kini, Hyunjin belum melihat Bangchan lagi. Bahkan ketika Hyunjin berkeliling hotel tadi—untuk mencari Bangchan dan mengajaknya kembali ke kondo—Bangchan juga tidak terlihat.
Daripada lama menunggu di ballroom yang sudah mulai dirapikan oleh para cleaning service, akhirnya Hyunjin memilih kembali ke kondo. Beristirahat. Menenangkan pikirannya yang kalut dan sedih.
Pertanyaan dari orang tuanya dan juga orang tua Bangchan—mengenai keberadaan Bangchan—sebisa mungkin dijawab dengan, "Dia sedang ke toilet, Ma. Katanya sakit perut. Tadi dia memang kebanyakan makan pasta."
Karena tak kunjung muncul akhirnya dia harus kembali berbohong dengan alasan, "Dia sudah duluan ke kondo. Dia mengeluh pusing tadi. Hampir setiap hari dia lembur di kantor. Kuharap Papa mengerti, ya."
Dan ... di sinilah dia sekarang, duduk di sofa yang terletak di kaki ranjang sambil menatap televisi. Hyunjin sendiri sebenarnya tak begitu memperhatikan isi tayangan televisi itu. Dia sibuk dengan pikirannya. Mencari kemungkinan keberadaan Bangchan. Berperang dengan hatinya dan juga otaknya mengenai haruskah ia menelepon Bangchan.
Sungguh Hyunjin bukanlah anak remaja yang posesif dengan pasangan. Namun, jika kekhawatirannya kini termasuk dalam kategori anak remaja yang posesif, maka Hyunjin tak keberatan masuk dalam kategori itu. Dia ingin tahu Bangchan di mana, sedang apa, dan bersama siapa.
Hyunjin tak tahan sendirian di kondo. Pikiran dan prasangka buruk akan Bangchan yang mungkin saja sedang berduaan dengan orang lain terus menghantuinya.
Sampai ketukan pintu membuyarkan pikirannya yang melayang jauh itu. Kaki Hyunjin dengan cepat berdiri. Dia separuh berlari ke ambang pintu. Berharap itu Bangchan.
Setelah membuka pintu, harapan Hyunjin sirna. Kini dia memaksakan senyumnya. Senyuman ikhlas namun lelah.
"Hei, Felix." Sapaan tak bersemangat yang keluar dari mulut Hyunjin langsung membuat wajah semringah Felix berubah. Kini ada wajah kesal di sana.
"Beginikah caramu menyambut tamu?" Felix bertanya tanpa menunggu jawaban. Dia langsung berlenggang masuk ke dalam kondo, meninggalkan Hyunjin di ambang pintu. Bahkan Hyunjin malas untuk menutup pintu. Dia hanya berharap Bangchan segera datang.
"Waaah, bagus juga," ucap Felix dengan kagum. Dia melepaskan kacamata hitamnya lalu melihat selingkungnya. "Ini betul-betul tipikal seleramu. Pasti semuanya kau yang tentukan, dan boneka beruangmu terima beres."
Lagi-lagi Felix bicara tanpa merasa butuh direspon. Dia kini mendudukkan tubuhnya di sofa yang tadi Hyunjin duduki. Matanya masih menjelajahi seisi kondo sambil sesekali mengangguk.
"Jelas dia tinggal terima beres. Bertanya tentang perkembangan persiapan acara ini saja bahkan tidak," kata Hyunjin lalu menyusul Felix duduk di sofa.
Felix mengangguk-angguk sambil menekuk wajahnya seolah berkata, 'yeahh ... I know it!'
"Ini hadiah dariku," ucap Felix sambil menyodorkan satu tas jinjing kecil. "Untuk Bangchan, tapi efeknya akan untukmu juga."
Hyunjin mengintip tas jinjing kecil itu. Ada kotak berwarna merah menyala di sana. "Apa ini?" tanya Hyunjin penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Chanjin ― Alexithymia Love
FanfictionHyunjin harus menerima takdir untuk dijodohkan dengan seorang penderita alexithymia. Ia ingin bertahan dan yakin bisa bahagia bersama suaminya. Namun, kenapa ia lebih banyak menangis ketimbang bahagia? Akankah Hyunjin sanggup menjaga pernikahannya s...