EPILOG

9.5K 554 85
                                    

Cowok itu tertunduk lesu di kamarnya, menatap kosong langit malam dari luar jendelanya. Gemerlap lampu malam yang menyala di ibukota bersinar terang, menambah betapa cantiknya pemandangan malam ini.

Netra tajamnya mulai meneduh, bibirnya mulai tersenyum tipis kala pikirannya kembali pada sosok yang pergi meninggalkannya beberapa jam yang lalu. Cahaya lampu kamar yang remang-remang membuatnya terasa nyaman, urung berpindah posisi.

Tiba-tiba saja ponsel di sampingnya menyala, tanda ada notifikasi masuk yang ternyata dari sang ayah. Namun, ia mencoba mengabaikan lebih tepatnya kurang penting. Teringat akan sosok sang ayah, pikirannya saat sang ayah memberikan beberapa bukti terkait kasus perselingkuhan yang ayahnya lakukan. Semua hanya salah paham. Setelah mengetahui semuanya, cowok berjiwa bengis itu memilih tak peduli meski ada rasa penyesalan yang hadir.

Entah mengapa malam ini adalah malam yang beda dari sebelumnya. Angin bertiup lumayan kencang, membuat gorden cokelat itu berterbangan ke sana kemari. Bunyi benda jatuh terdengar jelas di telinganya, seperti tak jauh darinya. Matanya mulai bergulir mencari benda itu, untuk memastikan. Ia terdiam saat benda menemukan benda yang jatuh tadi. Diary biru milik Dara. Meski ragu cowok berbaju hitam itu mengambilnya, tangannya gemetar saat memegang diary biru itu.

Melihat diary itu sama saja membuka ingatannya tentang sosok Dara. Cowok itu menatap lamat buku itu, ia terdiam sejenak untuk berpikir mengapa Dara lupa tak membawanya saat kepindahan hari itu?

Tak memusingkan hal itu, Devon mulai memberanikan diri untuk membukanya. Hatinya mencelos kala melihat setiap bait dan untaian kata yang Dara tulis. Ya, hanya tulisan sepele tentang luka hati.

Devon menarik sudut bibirnya ketika melihat sebuah tulisan yang menurutnya sedikit aneh. Tulisan yang mampu mengalihkan perhatiannya, membuatnya tercengang beberapa saat.

Hay, aku Aldara. Ini adalah coretan tinta pertama diatas diary biru ini. Seseorang memberinya untukku. Azka. Ya, dia orangnya. Tapi kini dia pergi, meninggalkan Dara dan diary ini tepat satu jam yang lalu.
Azka pernah bilang jika aku bisa nulis apapun disini saat aku nangis dan merasa sakit, sebab ia tak bisa lagi mendekap dan mengusap air mataku. Dan kata Azka juga, Dara itu cengeng.
Jika nanti Azka baca tulisan ini, Azka jangan ketawa ya? Maaf, tulisan Dara jelek. Bisa ku pastikan Azka membacanya setelah buku ini kembali lagi pada Azka.
Azka jangan pergi lama-lama, Dara nunggu soalnya.

               Salam senyum manis meski hati menangis, Aldara.

Devon sudah berkaca-kaca menahan air mata. Ia tersenyum getir, tak sanggup lagi membaca kisah Dara lebih jauh. Ia ingat betul jika Dara sangat menjaga buku itu, bahkan ia pun tak bisa membacanya. Tulisan Dara itu benar, ia hanya bisa membacanya setelah kembali padanya.

Saat Devon ingin menutup diary biru itu ada sebuah amplop berwarna biru laut yang jatuh. Devon mengambilnya dengan dahi mengernyit. Perlahan ia membuka lalu mulai membacanya dalam hati. Bibir cowok itu bergumam pelan, menikmati setiap baris kata surat itu. Tanpa ia sadari, air matanya meluruh tanpa suara.

Belum sempat ia baca dengan selesai, cowok itu mencengkeram kuat surat itu lalu ia genggam begitu erat. Hatinya perih. Tak sanggup lagi untuk membaca lebih jauh. Ia memijit pangkal hidungnya, masih dengan terisak dan menormalkan suasana hatinya yang masih dalam duka.

Devon menghela napas pelan, mencoba tersenyum tipis.

"Waktu kematian yang istimewa, dengan angka yang sama saat pertama kali lo membuka mata untuk melihat kejamnya dunia. Di tanggal 21 bulan 2, lo membuka mata. "Devon tersenyum sumir, menghembuskan napasnya kasar. "Dan di jam 21 lebih 2  malam lo menutup mata."

DIARY DARA [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang