CHAPTER 38<JUJUR

4K 383 9
                                    


"Mama meninggal," ungkap cowok itu dengan tatapan kosong. "Semua berawal dari papa! Mama tahu kalo papa selingkuh, terlebih Devina masih sangat kecil. Waktu itu mama frustasi hingga akhirnya mama mengakhiri nyawanya dengan tragis." Suara berat itu terdengar lemah, tenggorokannya terasa tercekat dan tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Hidup gue berubah seratus delapan puluh derajat setelah kepergian mama. Azka yang penyayang telah mati, digantikan Devon dengan jiwa bengis," katanya lagi lalu menolehkan kepalanya menatap Dara yang masih diam.

"Gue kira sejak kepindahan itu hidup gue bakal harmonis, tapi nyatanya pahit. Berujung penghianatan dan kematian. Gue ngerasa semua gak adil."

Cowok itu kembali terdiam, menunduk lalu membasahi bibirnya yang terasa kering. Angin malam yang cukup dingin menyapu kulit mereka berdua.

"Dan, tentang lo. Gue bener-bener gak tahu. Awalnya gue kekeh cari dimana, tapi lo rumah nggak ada dirumah dulu, gue malah kenalnya Dira, bukan Dara. Gue nyerah... gue gak tahu lagi harus cari dimana. Walaupun kita satu sekolah, gue terlalu gak peduli terhadap sekitar, gue acuh. Saat pertemuan pertama kita, gue masih ragu. Tapi satu yang membuktikan." Devon menoleh menatap Dara, menggenggam tangannya.

Dara membalas tatapan manik mata itu. "Apa?"

"Diary biru," ungkapnya kemudian.

"Lo inget waktu lo nabrak gue, diary biru itu jatuh tepat dibawah kaki gue. Dan, hal lain yang buat gue yakin adalah diary itu persis sama yang gue tinggalin pada seorang gadis malang. Dan tentang ciuman waktu dulu, itu adalah cara gue ngungkapin rindu dalam diri gue!" Dara menitikkan air matanya, ia sungguh kaget.

"Maafin gue, gue gak bisa mendekap lo saat lo sakit. Harusnya dulu gue gak pergi, demi papa dan ninggalin lo," ucap cowok itu parau, semakin menggenggam erat tangan dingin Dara.

Angin yang bertiup cukup kencang, membuat helaian rambut Dara berterbangan bebas. Wajah ayunya sembab, dengan mata yang terus mengucurkan air mata.

"Kenapa kamu gak langsung bilang kalo kamu Azka?" Devon tersenyum sumir.

"Sikap kita beda, pasti lo sulit untuk dipercaya." Dara masih bergeming dengan kata-kata itu. "Apalagi lo takut sama gue, makanya gue mau kita mulai dari awal dan janji buat nyaman bareng supaya lo gak takut lagi sama gue," sambungnya, Dara lantas menggeleng pelan.

"Andai kamu tahu, setelah kepergian mu dulu hidup aku seperti di neraka. Tak ada senyuman ceria yang terukir di wajahku." Dara menjeda ucapannya. "Pukulan, bentakan, dan hinaan itu makananku setiap hari. Sampai diujung puncaknya, mama dan ayah bercerai. Dan mereka semua menyalahkan aku," lanjutnya dengan terisak hebat.

Cowok itu langsung merengkuh tubuh Dara, memeluknya erat seakan-akan tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.

"Semua berawal dari aku yang gagal dalam Olimpiade, ayah marah besar. Hingga akhirnya aku diusir," katanya lagi dengan sesenggukan.

"Maafin Azka," bisik Devon mengelus kepala Dara dengan lembut.

Dara mengurai pelukannya, menatap dalam binar mata tajam itu. "Andai aku dulu tahu jika Devon dan Azka adalah orang yang sama, aku bakal benci banget sama dia! Devon itu bengis! Devon kasar, Devon jahat, dan Dara benci Devon!" Dara meraung-raung dengan napas memburu.

Devon, cowok diam. Jiwa bengisnya seakan  pergi, mendengar tangis Dara.

"Dara kangen Azka yang dulu, bukan Devon seperti sekarang. Yang suka bentak orang, kasar, dan gak punya perasaan," ungkapnya lagi seraya menghapus kasar air matanya.

Sulit. Itu posisi yang Devon rasakan saat ini. Satu orang dengan dua panggilan, dua sikap yang sangat bertolak belakang.

"Tapi gue lakuin ini semua karena gue ngerasa gak adil!" bantah Devon meraup kasar wajahnya.

"Semua itu adil. Tuhan nggak mungkin menguji manusia jika ia tak mampu. Tuhan ingin melihat di mana letak kesabaranmu," balas Dara.

"Sekarang lo udah tahu siapa gue sebenarnya." Cowok itu menunduk, meremas rambutnya kuat. Air mata yang menggenang di pelupuk matanya kini jatuh satu tetes.

Dara tak tega melihat teman kecilnya itu, dengan ragu ia mengusap bahu Devon. "Semua akan ada titik terangnya," katanya.

Devon mendongak membuatnya bersitatap dengan Dara. "Bukannya gue udah bilang, kalo kita sama-sama tersakiti dalam kondisi berbeda?" Dara mengangguk pelan.

"Gue gak mudah menerima seseorang di hidup gue. Bahkan setitik kuku mengusik aja gue bakal marah. Tapi lain dengan lo, elo udah gue kenal lama. Mungkin banyak mereka yang nggak tahu tentang ini. Hanya kita."

Cewek itu meletakan jari telunjuknya di bibir Devon, kemudian menggeleng pelan. "Dara nggak akan tinggalin Azka," katanya, Devon tersenyum tipis, lalu menggenggam jari-jari lentik Dara.

"Boleh gue minta sesuatu?" Meski ragu Dara mengangguk mengiyakan.

"Jangan panggil Azka, jiwanya udah mati. Ini Devon, si brengsek!" Tatapan tajam itu berubah menjadi teduh, seolah banyak rasa sakit yang ia tahan.

"Iya." Dara menjawab dengan tersenyum manis. "Lalu apa boleh juga aku minta?" Devon menautkan alisnya, sedetik kemudian ia mengangguk.

"Berhenti bersikap kasar, karena kamu gak akan pernah tahu gimana rasanya di posisi itu. Meski hanya sebuah bentakan, atau kata-kata kasar, tetapi ada hati yang tergores," pinta Dara yakin.

Devon diam, apakah dirinya bisa?

"Jangan berpikir jika kamu nggak bisa. Sebelum kamu menjadi bengis, bukankah kamu sosok penyayang? Jadilah Devon dengan versi Azka."

Dara mengalihkan pandangannya, menatap langit malam yang tak ada satu bintang satupun. Malam ini memang cuaca mendung dengan angin yang bertiup lumayan kencang. Balkon itu terasa menjadi tempat ternyaman bagi keduanya untuk saling membuka hati.

"Gue coba," ujar Devon kemudian.

#NEXT GAK? YUHUU GIMANA PART INI?

Typo ingatkan dong!

Jangan lupa vote & coment.

Masukkan ke ready list kalian ya✔️

Terima kasih banyak buat yang udah dukung cerita ini 👉👈

DIARY DARA [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang