CHAPTER 22 < RAPUH

4.7K 432 12
                                    

"Kadang kala senyuman itu hanya sebuah cover, agar kita terlihat baik-baik saja."

Dengan spontan Dara mengubah posisinya menjadi duduk, meremas erat seprai. Dara menggeleng cepat kepalanya dengan napas memburu.

"Kamu?"

Cowok itu masih diam, tangannya terulur hendak memegang Dara. Namun, naas saat Dara langsung menepisnya dengan kasar. Tubuh Dara gemetar, cewek itu perlahan menurunkan kakinya dari ranjang lalu berlari kecil menuju balkon apartemen.

Cowok itu mengikuti Dara, semakin menatap Dara lurus. Dara dapat melihat jika wajah cowok itu penuh memar. Dara semakin bergidik ngeri membayangkan apa yang telah dilakukan cowok itu padanya.

Dara semakin memundurkan langkahnya dengan raut wajah yang penuh ketakutan. Keringat dingin terus bercucuran deras di pelipisnya. Matanya yang indah sudah berkaca-kaca serta bibir mungilnya yang bergetar. Sementara itu, seorang cowok dihadapannya hanya menunjukkan ekspresi santai, mengamati cewek itu lamat-lamat lewat tatapan tajamnya.

Malam hari yang indah bertabur kejora dan sang rembulan membuat suasana itu semakin serasi. Di malam yang indah ini tampaknya cewek itu benar-benar sangat ketakutan. Ia menolehkan kepalanya ke kanan-kiri untuk mencari bantuan, tapi sayang tempat itu sangat sepi dan cukup tinggi. Hanya terdengar binatang malam yang saling bersahutan. Mereka tengah berada di balkon.

Cowok itu semakin memajukan langkahnya, ingin mendekat dan menatap netra teduh gadis itu.

Cewek itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dengan sebulir air mata yang mulai jatuh. "Enggak! Jangan mendekat!" katanya panik dengan matanya bergerak gelisah.

Cowok itu rupanya tak mengindahkan seruan cewek malang itu, ia terus maju mengikis jarak diantara mereka.

"Gue nggak seburuk apa yang lo pikirin," kata cowok itu tenang, mencoba menjelaskan. Bukannya tenang, cewek itu malah semakin takut akan kata-kata yang keluar dari mulut cowok itu.

"Kenapa lo takut sama gue? Gue bukan Tuhan!" Cewek mengatupkan bibirnya rapat-rapat mendengarnya. Ia mulai terisak pelan. Menyadari itu, cowok berkaos hitam itu menarik pergelangan tangannya, membawanya mendekat.

Cewek beringsut takut dengan menatap pergelangan tangan kanannya yang masih dicekal cowok itu. Air matanya terus meluruh, ia terus memberontak berusaha melepaskan cekalan itu. Setelah terlepas, Dara berusaha untuk melarikan diri menjauhi cowok itu. Ia berusaha berlari terseok-seok dengan langkah kaki pincang, cowok itu terus menatap punggung kurus gadis itu dengan mata memanas.

Tak lama cowok itu berlari kecil lalu mendekap tubuh cewek itu dengan hangat. Cewek itu terdiam dengan napas yang tersengal-sengal. Ia hanya terdiam dengan segala ketakutan yang menguasai dirinya. Cewek berambut sedada itu bisa merasakan detak jantung mereka yang berpacu kencang.

"Kenapa?" lirih cowok itu seraya mengurai pelukannya, membalik tubuh cewek itu. Bahu cewek itu bergetar hebat bertanda  menangis  ketakutan.

Dara menaikkan tatapannya, menatap cowok itu dalam. Mata indahnya masih digenangi air mata, ia menggigit bibir bawahnya kuat untuk menetralisir rasa takutnya.

"Devon itu bengis, Dara gak suka! Devon itu jahat, Devon itu kasar! Dara gak suka! Dara takut. Dara benci Devon!" ungkap Dara dengan menggebu-gebu, dadanya yang naik turun nafasnya tak beraturan.

Cowok itu terhenyak seperkian detik mendengar pengakuan itu. Cowok itu mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat sampai otot-ototnya terlihat jelas.

Semilir angin malam yang dingin dan cahaya rembulan yang terang  membuat rambut Dara berterbangan serta wajahnya yang sembab terlihat jelas. Cowok itu bisa melihat jika wajah ayu gadis itu terdapat bekas luka yang tercetak jelas disekitar pelipisnya. Cowok itu bisa merasakan betapa sakit dan hancurnya menjadi seorang Dara.

Cowok itu maju lagi dengan memajukan wajahnya. Jarak diantara mereka tinggal satu jengkal, Dara bisa mencium deru napas hangat cowok itu. Dara hanya bisa menelan kasar saliva nya.

Cowok itu memiringkan kepalanya mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Dara yang membuat Dara meremang seketika.

"Tapi Devon suka Dara," bisik cowok itu dengan suara seraknya.

Devon kembali menjauhkan tubuhnya kemudian memegang bahu Dara. Perlahan ibu jarinya ia menghapus sisa genangan air mata cewek itu.

"Gue punya alasan untuk itu." Dara masih diam dengan napas naik-turun. "Jangan tinggalin gue ... Aldara," kata Devon lirih.

Dara kembali terisak, punggung cewek itu bergetar. Tanpa ragu Devon membawa cewek itu ke dalam pelukannya.

"Ak-aku tak-takut," ujar Dara gemetar, Devon mengelus surai hitam cewek itu.

"Rasanya sakit," lanjut Dara membuat Devon paham apa yang tengah dirasakan cewek ini. Tekanan batin.

"Jangan takut lagi, ada gue." Devon mengurai pelukannya lalu meraih tangan dingin Dara, menggenggam erat.

"Kita sama-sama terluka dalam kondisi yang berbeda," bisik Devon membuat Dara terhenyak seketika.

Mata tajam Devon mulai memerah menahan tangis. Cowok itu mengembuskan napasnya berat, mencoba tidak menangis di depan Dara.

Dara menatap Devon dengan alis mengernyit. "Kamu kenapa?" tanyanya dengan tangan terangkat ingin menyentuh wajah memar Devon.

Cowok itu menggeleng samar. "Gue gak sekuat apa yang mereka liat."

Dara diam tak berani bertanya lebih banyak. Tiba-tiba saja Devon menarik dirinya untuk duduk di sofa yang ada balkon itu. Tanpa aba-aba Devon merebahkan tubuhnya dengan paha Dara sebagai bantalnya. Mata cowok itu terpejam dengan satu bulir aja mata yang menetes.

Dara merasa tak nyaman dengan posisi mereka saat ini. Terlalu dekat, bahkan sangat dekat.

"Jangan gin—"

"Sebentar saja," potong Devon cepat dengan suara lemahnya.

Dara berpikir jika cowok ini sedang rapuh. Sudut bibir sobek, serta wajahnya yang lebam-lebam. Devon butuh tempat bersandar, ia butuh seseorang yang memperhatikan dirinya, seperti almarhumah sang mama.

Mata tajam Devon kini terpejam tenang, tidak seperti biasanya yang menatap seseorang dengan tatapan menguliti. Cowok itu benar-benar butuh tempat walau hanya sekedar menyenderkan bahu.

Tangan kekar cowok itu mengarahkan jari lentik Dara di dahinya. Dara bisa merasakan jika dahi Devon hangat, lalu bibir pucat itu berucap, "Elus."

#GIMANA PART INI? Satu kata dong?

Typo ingatkan ya...

Jangan lupa buat vote & coment sebanyak-banyaknya.

MASUKKAN KE READY LIST KALIAN YA! 💓

THANKSLUVV 💘

DIARY DARA [Completed✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang