Bab.8

5.3K 475 19
                                    

Bab

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bab.8
Suasana kantin terlihat sangat ramai. Mereka semua makan dengan lahap menikmati jam istirahat nya.

Gia tengah mengejar Ara yang tengah ber api-api mencari salsa.
Mata Ara tertuju sangat jelas ke meja yang bersebelahan dengan gio.

"Lo Ngadu apa lagi! Gua capek dengan drama yang Lo buat salsa!" Mata Ara sudah berkaca-kaca. Bisa-bisa nya Erik menuduh bahwa Ara sudah tidak suci lagi dan melayani orang di apartemen.

"Jawab gila! Stop ikut campur urusan gua."

Ara merasa geram melihat salsa yang tak kunjung menjawab dia pun menarik rambut salsa dengan sangat kuat.

Semua siswa menonton perkelahian itu Vano berusaha melepaskan tangan Ara di kepala salsa.

"Ra Lo gila!"gio berteriak datang dan memisahkan perkelahian  itu.

Dada Ara naik turun mendengar bentakan dari gio. "Lo gak usah ikut campur! Gak usah sok jadi pahlawan Lo gio." Teriak ara begitu jelas.

"Jalang kayak Lo. Emang pantes di benci orang, Lo selalu ngerasa Lo yang tersakiti sadar Ara ! Gak semua orang harus ngertiin Lo." Gio menarik tangan salsa dan pergi membawa nya ke UKS.

Ara tertunduk lesu melihat tatapan, demi tatapan menjijikan dari orang sekitar.

Ara berlari sangat kencang menuju belakang sekolah nya menangis di bawah pohon yang begitu besar.

Vano mengejar Ara mencari ke setiap sudut dan menemukan nya. Vano berjalan perlahan mendekat ke arah Ara menenangkan Isak tangisan Ara.

"Gua benci sama diri gua sendiri! Gua pengen mati." Teriak ara menggila memukul vano.

"Keluarin semua yang Lo rasa Ra. Biar Lo lega." Suruh vano sambil mengusap rambut Ara.

"kenapa gak ada yang bisa ngertiin gua? Gua rapuh gua gak sekuat itu Van."

Air mata vano ikut mengalir melihat ke adaan Ara. Tangan vano menghapus setiap tetes air mata yang keluar dari mata Ara dan mengusap lembut kepala Ara.

"Gua gak tau masalah dan seberat apa masalah Lo Ra! Tapi yang perlu Lo tau gua akan selalu ada menjadi penguat Lo."

Bahu Ara bergetar hebat, dia menyandarkan kepalanya ke dada bidang milik vano.

"Gua gak tau lagi harus apa. Gua selalu salah gua mau mama Van."

Tak ada jawaban dari vano, vano hanya mengusap lembut kepala Ara.

"Gua selalu berusaha sekuat mungkin menjadi Ara, tapi gua sadar hati gua gak sekuat itu Van."

"Terlalu sakit untuk di ungkapkan, terlalu lemah untuk di utarakan Ra."

Setelah kejadian itu Ara dan salsa di panggil ke ruang BK dan lebih parahnya ada Erik dan Farah  yang di panggil ke sekolah untuk hadir menyudahi masalah yang Ara dan salsa perbuat.

"hal memalukan apa lagi yang kamu buat Ara?" Satu pertanyaan keluar dari mulut Erik.

"Ara gak salah. Ara cuma korban dari kesalahan kalian." Ucap Ara membenarkan diri nya.

"Pelakor kayak Lo. Gak pantes ada di sini."

Plak ...

Satu tamparan terdengar jelas di ruangan itu Ara memegang pipi nya yang terasa panas "papa berubah." Isakan tangis Ara terdengar dengan jelas menatap kecewa ke arah Erik.

"Minta maaf Ara!"

"Ara gak akan pernah minta maaf, sama orang seperti kalian. Dan ini semua bukan salah Ara."

Bibir Erik bergetar menahan amarahnya, sedangkan Farah dan salsa tengah tersenyum puas melihat semuanya.

Buk Rumi guru BK Ara menenangkan ke adaan di dalam ruangan tersebut.

"Dasar anak memalukan." Erik berbicara sangat lantang menatap ke arah Ara.

Ara menutup matanya sejenak menetralkan perasaannya.

"Puas Lo dah bikin gua hancur!"

"Bisa gak kalian ngerasain apa yang gua rasa ! Beri sedikit empati kalian gua capek."

"Gua udah capek gua gak punya siapa-siapa lagi? Papa yang harus nya menjadi pelindung gua. Ternyata dia yang nge hancurin gua."

"Dan untuk Lo! Belum puas iya Lo udah ngambil semua yang gua punya. Lo udah nge hancurin semua harapan gua salsa Lo perebut sama kayak mama Lo."

"Jaga mulut Lo." Jawab salsa tak terima.

Ara pergi menghapus semua air matanya, berusaha kembali tersenyum seakan-akan semua baik-baik saja.

RUMAH
"Menurut sebagian orang  rumah adalah tempat ternyaman untuk pulang, tapi tidak dengan ku.
Saat di rumah aku selalu merasa sesak, tidak nyaman dan selalu ingin keluar.
Namun aku tidak punya tempat untuk pulang dan tidak punya orang untuk berbagi cerita.
Dan akhirnya aku tetap berdiam di rumah yang menyesakan ini
Dengan kepala yang berisi beban dan tanda tanya yang tak pernah aku suarakan."
-lara

Vano PraditiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang