(23) Wound

1K 121 32
                                    

Ruang tamu mewah tersebut diselimuti oleh keheningan. Jennie dan Jeno yang terus saja terdiam, dan Lessa yang sejak tadi hanya sibuk dengan jari jarinya.

"Em... Minumannya diminum, Jen, No." Ujar Lessa memulai pembicaraan.

Jennie berdehem, ia tampak menghela nafas berkali kali untuk menetralkan perasaan gugupnya. Jujur saja, tadi ia sangat percaya diri, namun saat ia sudah masuk ke dalam rumah ini, rasa kepercayaan dirinya menjadi sirna.

"Bisa tolong jelaskan?" Tanya Jennie sembari menatap lamat Lessa.

Lessa yang mengerti arah pembicaraan ini terdiam beberapa saat. Sebelum ia menarik nafasnya dan mulai bercerita.

Namun, satu suara membuat Lessa mengurungkan niatnya untuk bercerita. "Sayang, ada apa ini?"

Lessa, Jennie, dan Jeno menoleh mengikuti arah suara itu. Dan betapa terkejutnya Jeno ketika melihat siapa pemilik suara tersebut.

"Ayah..." lirih Jeno. Ia tersenyum miris. Ia tahu ini semua akan terjadi, tapi ia tidak tahu bagaimana endingnya.

Seorang pria yang dipanggil ayah oleh Jeno tadi melirik Jeno, ia nampak terkejut, namun dengan segera ia mengubah ekspresinya menjadi datar. "Ada apa kamu kesini? Bukankah saya sudah tidak ada hubungan lagi dengan ibumu?"

Jeno tersenyum miring lalu mengangkat kepalanya, menatap seorang pria yang berdiri dengan ekspresi datar tersebut. "Bukan saya, tetapi adik saya, lebih tepatnya dia berurusan dengan istri anda."

Pria tadi nampak terkejut, ia lalu menatap istrinya-Lessa meminta penjelasan. Sedangkan Lessa hanya tersenyum kikuk.

"Rendy, lebih baik kamu naik dan mandi. Nanti akan aku jelaskan semuanya." Ujarnya pada suaminya. Rendy-pria tadi hanya menurut perintah dari Sang istri.

Setelah Rendy naik ke atas, Lessa kembali pada posisinya, ia menatap Jennie sesaat sebelum membuka mulutnya untuk mulai bercerita.

"Mama punya alasan kenapa mama memalsukan kematian mama. Mama nggak bermaksud buat ninggalin atau buang kamu, Jennie." Lessa menggenggam tangan Jennie, ia mengelus tangan kurus tersebut.

Jennie menatap Lessa, "Alasan apa? Pria tadi? Pria tadi alasannya?"

Bukannya menjawab, Lessa malah menangis. Ia menangis sesenggukan di depan Jennie. "Maafin mama, maaf, maaf, maafin mama. Hiks hiks."

Jennie terdiam. Jujur, ia ingin menangis, tetapi ia mencoba untuk tegar. Ia harus terlihat kuat.

"Mama tau? Betapa menderitanya aku tanpa mama? Mama tau? Betapa buruknya hari hariku tanpa mama? Mama tau? Betapa lelahnya aku yang setiap malam memikirkan mama? Mama tau? Betapa irinya aku melihat anak anak lain yang di sayang oleh ibunya sendiri? Mama tau? Betapa sayangnya aku pada mama? Aku ga butuh harta atau kekayaan ma, atau apapun itu. Aku hanya butuh kasih sayang seorang ibu. Aku hanya butuh seorang ibu yang selalu berada di sampingku. Aku hanya butuh seorang ibu yang selalu mendukungku. Aku hanya butuh seorang ibu yang mendampingi setiap pertumbuhanku. Aku. Hanya. Butuh. Seorang. Ibu."

Tangis Lessa semakin menjadi jadi. Bahkan Jeno sudah menitikkan air matanya.

"Maa-

"MA?!" Belum selesai berujar, sebuah teriakkan mengalihkan pandangan tiga orang tersebut.

"Hera? Renjun?" Lessa terkejut, Jennie terkejut, Jeno juga terkejut. Bagaimana tidak? Tiba tiba Hera datang dengan Renjun di belakangnya.

Jennie bangkit dari duduknya, lalu ia berlari pergi darisana disusul oleh Jeno dan Renjun. Sementara Hera berdiri mematung dengan Lessa yang masih saja menangis.
































[✓] wound, kjn & hrjTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang