(14) Wound

720 134 7
                                    

Wound

Hari ini Jennie masuk sekolah. Ia berjalan pincang menuju pagar. Kakinya masih sakit akibat air panas yang di siramkan nyonya-nya kemarin lusa.

"Hai Jen."

Jennie terkejut kala melihat Renjun yang bersandar di pintu mobilnya dengan senyum yang lebar.

"Renjun kenapa kesini?" Tanya Jennie.

"Jemput lo lah. Yakali mau nyari bekicot, kan ga mungkin." Canda Renjun yang membuat Jennie tertawa.

Renjun tersenyum penuh arti kala melihat Jennie tertawa.

"Renjun berangkat duluan saja ya, aku lebih baik naik bus saja." Tolak Jennie.

"Yah, pasti gitu kalo di ajak berangkat bareng. Kenapa sih? Lo gasuka ya sama gue? Lo benci ya sama gue? Lo marah ya sama gue?"

Jennie yang mendengar ucapan Renjun itupun menggeleng dengan panik, "ti-tidak kok tidak! Tidak sama sekali. Hanya saja... ada beberapa alasan... yang mungkin tidak bisa ku beritahu." Ucap Jennie merasa bersalah.

Renjun menghela nafas kecewa. Membuat Jennie semakin merasa bersalah telah menolaknya.

"Maaf... jangan marah." Ucap Jennie lirih, ia menunduk.

Renjun tersenyum jahil kala melihat Jennie meminta maaf. "Kalo gitu, lo harus berangkat bareng gue!

Jennie nampak bingung. Otaknya terus berputar mencari sebuah alasan.

"Lo gamau gue marah kan, Jen?"

Jennie menggigit bibir bawahnya. Setelahnya ia menghela nafas pasrah. "Iya."

"Yes!" Seru Renjun.

"Silahkan masuk tuan putri." Ucap Renjun mempersilahkan Jennie masuk, tak lupa ia tunjukan senyum semanis mungkin.

Deg deg deg

Astaga apa ini, kenapa jantung Jennie berdetak lebih kencang? Jennie juga merasa pipinya memanas. Aih.

Wound

Jennie mengernyit kala Renjun tidak menurunkannya di dekat halte bus seperti waktu itu.

Jennie lalu menoleh ke Renjun yang sedang menyetir dan tak lupa senyumnya yang selalu ia tunjukan.

"Loh Ren? Kok terus saja sih? Kenapa tidak turunkan aku di dekat halte bus?"

Renjun yang menoleh sekilas ke Jennie, lalu kembali fokus pada jalanan di depan.

"Kenapa sih Jen? Sekali kali gitu sampe ke parkiran. Sama aja dong kayak naik bus kalo misal lo turun deket halte."

"T-tapi Ren-

"Syutttt!" Sela Renjun sembari menempelkan jari telunjuknya ke bibir Jennie.

"Diem oke? Intinya harus sampe parkiran. Titik." Renjun menoleh sebentar ke Jennie dan tersenyum pada Jennie.

Lagi lagi, jantung Jennie berdetak dua kali lebih cepat, sedangkan pipinya mulai terasa panas.

Wound

Jennie terlihat sangat gelisah saat mobil Renjun mulai memasuki kawasan sekolah.

Astaga ramai sekali, bagaimana ini? Bagaimana jika Hera melihat ini semua? Bagaimana jika warga sekolah berpikiran yang tidak tidak? Ah.

Jennie tidak bisa membayangkan saat ia turun dari mobil Renjun lalu para siswa atau siswi melihat ke arahnya dan mulai berbisik membicarakannya.

Renjun yang menyadari bahwa Jennie sedang gelisah pun memegang tangan Jennie, di usap nya tangan dengan perban yang melilit itu lalu di genggamnya erat, seolah menyalurkan kekuatan pada si gadis.

"Kenapa sih? Kok kayak gelisah gitu? Mikirin apa?" Tanya Renjun.

Jennie menggeleng, ia membalas menggenggam tangan Renjun erat. Keringatnya mulai bercucuran. Rasa takut menguasai dirinya.

Renjun yang mengusap keringat Jennie dengan tangan kosongnya tanpa jijik. Lalu tersenyum memandangi setiap inci wajah Jennie.

"Cantik." Gumam Renjun pelan, hampir tidak terdengar.

"A-apa Ren?"

Renjun yang tersadar itu menggaruk tengkuknya canggung. "E-eh engga. Btw ini udah sampe loh, gamau turun?"

Jennie mengangguk kecil. Huft, ia hanya bisa pasrah menerima nasibnya. Semoga Renjun tidak dijadikan bahan perbincangan para siswa siswi. Cukup dirinya saja.

"Silahkan tuan putri." Ucap Renjun setelah membukakan pintu mobil untuk Jennie.

Jennie menghela nafas gusar kesekian kalinya. Di dalam dadanya, jantungnya sudah tidak sehat. Bukan, bukan karena perlakuan manis Renjun, namun karena tatapan tajam dan bisikan bisikan dari warga sekolah saat melihatnya keluar dari mobil Renjun.


Wound

[✓] wound, kjn & hrjTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang