Tanpa membuang waktu, setelah berakhirnya kalimat dari sang wali kelas, Asta langsung keluar dari ruang kelasnya. Ia memacu langkah secepat mungkin agar dapat segera sampai di tempat mamanya berada. Tanpa peduli dengan teriakan Yuta dan kekasihnya yang menggema hingga menjadi pusat perhatian, Asta tetap meninggalkan area sekolah dengan mengayuh sepedanya.
Asta sudah cukup dibuat pusing dengan soal-soal yang menambah rasa sakit kepalanya. Ia tidak ingin lagi menyiksa otaknya bila harus menanggapi Yuta. Rasa ingin tahu atas keterlambatannya kemarin masih belum sirna, padahal Asta telah merangkai berbagai penjelasan yang masuk akal. Sayangnya, menyembunyikan sesuatu dari si sipit itu tidaklah mudah. Oleh karena itu, ia lebih memilih menghindar, daripada harus keceplosan.
Butuh waktu sekitar 25 menit hingga ia tiba di tempat tujuan. Usai memarkiran kendaraannya, perlahan ia melangkah semakin jauh ke dalam bangunan itu. Asta menarik kedua sudut bibirnya kala menanggapi beberapa orang yang menyapanya. Bertahun-tahun keluar-masuk di tempat ini, membuatnya akrab dengan beberapa staf, mulai dari petugas keamanan, petugas kebersihan, perawat, hingga dokter. Asta bahkan cukup dekat dengan beberapa keluarga pasien yang ada di sini.
Langkah Asta pun akhirnya terhenti pada sebuah ruangan yang tertutup. Alih-alih menemui mamanya, justru Asta memilih mendatangi Ziel lebih dulu. Laki-laki remaja itu menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. Mendadak ia merasa gugup, sebab selama menitipkan mamanya di sini, ia tak pernah satu kali pun menemui Ziel tanpa pendampingan dari Giska. Sebab, usia Asta saat ini masih belum cukup untuk mengambil peran sebagai wali.
Topik obrolan ia dan Ziel pun tidak pernah membahas kondisi mamanya lebih jauh, sehingga hal tersebut membuatnya merasa bingung harus memulai dari mana. Asta mendadak ragu dan takut, padahal semalam suntuk semuanya telah terpikirkan. Sialnya, itu menguap begitu saja, rangkaian kalimat yang telah ia susun sedemikian rupa pun entah ke mana.
"Lho, Asta!"
Asta sontak terkesiap saat melihat Ziel keluar dari ruangannya. Ia sedikit memundurkan langkah saat tiba-tiba Ziel semakin memupus jarak antara mereka. Asta dapat melihat kekhawatiran di mata dokter yang menangani ibunya selama ini.
"Yuta baru saja telpon Om, katanya kamu pergi buru-buru dari sekolah. Dia khawatir kamu kenapa-napa dan suruh Om cek kamu ada di rumah sakit ini atau tidak," jelas Ziel sambil menatap Asta, "syukurlah kamu benar-benar datang ke sini."
Asta tersenyum kaku, mendadak ia merasa bersalah karena telah membuat Yuta dan Ziel cemas karena keegoisannya. "Maaf, Om. Aku nggak bermaksud bikin kalian khawatir, apalagi Yuta," ucapnya.
"Tidak apa-apa. Ayo, masuk." Ziel mengusap lembut rambut Asta, mencoba memberi ketenangan pada Asta yang tampak gelisah dari tatapannya.
Ziel pun mengajak Asta memasuki ruangannya, menempatkan Asta pada sebuah sofa dan memberikan sebotol air mineral agar anak itu lebih rileks. Menghitung dari waktu Yuta menelponnya dan menjelaskan apa yang terjadi, serta keberadaan Asta di depan ruangannya, Ziel dapat menyimpulkan bila dirinyalah yang ingin Asta temui kali ini.
"Om, boleh aku menanyakan soal kondisi kesehatan Mama saat ini?"
Asta menggenggam botol plastik yang isinya sisa setengah. Ketakutannya bukan hanya karena belum pernah membahas topik ini lebih jauh dengan Ziel, tetapi khawatir bila tidak akan mendapat jawaban pasti, serta risiko akan terbongkarnya hal yang ingin ia sembunyikan.
"Seperti yang kamu lihat, meski lambat, tapi setidaknya kondisi mamamu semakin membaik. Dia tidak lagi separah saat kita pertama ketemu, kan?"
Asta mengangguk membenarkan apa yang dikatakan Ziel. Saat ini Mama lebih banyak diam, mulai jarang meracau. Mulai dapat menerima Asta berada di sampingnya, meski pada akhirnya mengusir. Tidak lagi sering mengamuk dan menyerang orang di sekitarnya, walau kadang masih tantrum. Baiknya, Mama sudah tidak pernah lagi memiliki melukai dirinya.
Perkembangan itu tentu membuat Asta senang dan berharap mamanya akan benar-benar pulih. Namun, untuk menunggu waktu Mama benar-benar sembuh, Asta tidak tahu kapan itu akan terjadi. Untuk mencapai titik ini saja, butuh bertahun-tahun lamanya.
Asta takut bila hal buruk justru terjadi lebih dulu. Asta takut, bila waktunya habis sebelum Mama menemukan kewarasannya. Asta takut, bila akan meninggalkan mamanya dalam keadaan seperti ini. Sebaik-baiknya Yuta dan keluarganya, Asta tidak ingin meninggalkan beban untuk mereka.
"Asta, ...."
Ziel menggenggam tangan Asta yang beberapa menit tenggelam dalam lamunan. Ia mengambil alih botol plastik yang tak lagi terbentuk dan isinya telah tumpah. Ziel berdesah, anak yang dulu masih tersenyum saat menjelaskan kondisi mamanya, meski dengan luka mengenaskan di sekujur tubuh dan wajah, kini tampak kesulitan mengendalikan emosinya.
Mendadak Ziel merasa resah, khawatir bila mental Asta pun mulai tak lagi mampu menahan segalanya. Ziel mengeratkan genggamannya, bahkan kini telah menarik Asta dalam dekapnya. Terlihat baik-baik saja dan bahagia, bukan berarti itulah yang sebenarnya dirasakan Asta, Ziel paham itu.
Kerap kali ia mengajak Asta berdiskusi ringan, agar anak itu dapat berbagi, meski terkadang Asta tak mengungkapkan apa yang menjadi bebannya dan bagaimanami perasaannya. Keluarganya pun telah bekerja sama untuk membuat Asta nyaman dan lebih terbuka pada mereka, tetapi semuanya cukup sulit. Asta cukup tertutup, menyimpan semuanya sendiri, meski terlihat ceria. Yuta yang terbilang dekat dengannya pun tak dapat memahami Asta dengan baik.
"Asta, Om pernah bilang untuk tidak memendam apa pun, kan?" tanya Ziel begitu melepaskan dekapnya dan menatap Asta. "Mau cerita sama Om tentang yang kamu rasakan saat ini?"
Laki-laki yang tidak mengetahui tanggal lahirnya itu menggeleng. Asta tersenyum tipis dan membalas tatapan khawatir Ziel sejenak, sebelum kembali menunduk.
"Nggak tahu, Om. Tiba-tiba, aku cuma mau Mama sembuh aja. Lihat Yuta sama Bu Giska, rasanya ingin merasakan yang sama. Mau Mama bisa seperti Bu Giska."
Asta tak mampu menahan air matanya. Untuk pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya, lagi pula, sulit baginya untuk membohongi Ziel perihal perasaannya. Laki-laki itu akan dengan mudah menebak apa yang rasakan, jadi sebelum Ziel bertanya lebih jauh, Asta memilih memberi tahu apa yang dia rasakan.
"Bersabar sedikit lagi, ya. Om tahu setiap saat yang kamu lalui itu berat. Ada rasa iri yang muncul setiap kali melihat kehidupan yang lebih baik dari hidup yang kamu alami. Tapi kamu harus percaya, bila semua pasti akan indah pada waktunya. Kita semua sama-sama berjuang sampai waktunya itu tiba," ucap Ziel tanpa mengalihkan tatapannya dari Asta yang kin menunduk.
"Lantas, kapan waktunya itu tiba?"
Asta tersenyum tipis, sesungguhnya tak ingin memperpanjang topik antara ia dan Ziel. Alasannya menemui Ziel bukanlah untuk berdialog mengenai perasaannya, tetapi apa yang dikatakan dokter itu justru mempermudahnya untuk membahas topik yang ingin ia sampaikan.
"Sampai kapan aku harus berjuang? Berapa lama aku harus menunggu sampai indah pada waktunya?" Asta kembali menatap Ziel.
Ziel membalas tatapan Asta dengan raut tak terbaca. Entah apa yang ada di pikiran laki-laki itu, Asta tidak ingin peduli. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Asta justru memanfaatkan momentum ini untuk mendapatkan apa yang ia mau tanpa harus gugup dalam meminta.
"Bagaimana bila waktuku justru habis sebelum semua indah pada waktunya?"
"Asta!" Ziel tanpa sadar menaikkan suaranya. Ia cukup terkejut dan terpancing dengan apa yang dikatakan Asta.
"Maaf, Om. Tapi kita gak tau, kan, sampai kapan batas waktu kita?"
Ziel terdiam sejenak. Biasanya ia tidak akan emosional seperti saat menghadapi keluarga pasien. Namun, kali ini hati dan pikirannya mendadak berkecamuk. Ia yang biasanya memberikan nasihat dan menenangkan pasien justru dibuat kehabisan kata-kata. Ilmu-ilmu psikiatri yang ia dalami selama ini entah mengapa tiba-tiba menguap.
"Om, adakah cara yang bisa bikin Mama cepat sembuh?" Asta kembali menatap Ziel untuk mengungkapkan apa yang benar-benar ia inginkan.
"Andai Om bisa, Om akan langsung membuat ibumu sembuh tanpa harus menunggu bertahun-tahun. Tapi, tidak ada yang instan, Asta," ucap Ziel yang ia sadari telah memupuskan harapan Asta.
"Kalau begitu, setidaknya bisakah Om memaksa Mama untuk mengingat siapa yang telah membuatnya seperti ini? Bisakah Om bikin Mama ingat siapa yang harus bertanggung jawab atas hidup kami?"
------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...