Sesuai yang dikatakan Yuta tadi, hubungannya baik-baik saja. Gadis itu bersikap seperti biasa, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Kendati merasa lega, tetapi Asta tetap tidak nyaman, terlebih bila berada di antara keduanya. Namun, ia tidak dapat menolak saat Yuta, maupun Kara memaksanya untuk ikut bergabung.
Saat ini ketiganya tengah berada dalam bioskop yang terletak di salah satu mal. Kara sangat bersemangat untuk menonton film layar lebar yang baru saja rilis beberapa hari lalu, dan mengajak keduanya.
Setelah menghabiskan waktu selama dua jam lebih, mereka pun memilih untuk mengisi perut. Kara dan Yuta tak henti-hentinya membahas mengenai film yang baru saja mereka tonton, keduanya memang memiliki selera yang nyaris serupa. Pecinta film luar bergenre action ataupun fantasy.
Sementara itu, Asta hanya diam sejak tadi. Selain karena tidak terlalu paham. Ia juga tidak ingin mengusik kebersamaan mereka. Melihat Yuta dan Kara bahagia dan akrab seperti itu adalah hal yang membuatnya merasa tenang.
"Main, yuk, setelah ini," ucap Kara setelah menghabiskan satu cup es krimnya.
Yuta mengangguk cepat, pun dengan Asta yang memang tidak akan pernah menyuarakan penolakan apa pun. Ia tentu ingin menjaga situasi agar tetap baik-baik saja, tanpa ada masalah apa pun.
"Aku ke toilet, bentar," ucap Yuta tergesa-gesa bangkit dari kursinya, meninggalkan Kara dan Asta yang kemudian terjebak dalam suasana canggung.
Asta sesekali melirik gadis di sampingnya, ada banyak kalimat yang sebenarnya ingin tersampaikan sejak tadi. Akan tetapi, ia tidak ingin keadaan kembali rumit.
"As, ...." Suara Kara mengalun pelan, mengenyahkan hening yang tercipta di antara mereka. "Maaf untuk yang kemarin."
Jus alpukat yang baru saja akan diminum, tersimpan kembali. Pemuda itu sedikit terkejut dengan kalimat yang baru didengarnya. Tak menyangka Kara akan berucap demikian.
"Seharusnya aku yang bilang itu, Kar. Gara-gara aku rencana liburanmu jadi berantakan. Kamu dan Yuta sampai bertengkar seperti itu." Asta menunduk, kembali merasa bersalah. "Maaf, sudah mengacaukan semuanya."
"Eh, nggak, kok. Nggak apa-apa, As. Sejak awal memang rencana ke Jakarta, tuh, bukan buat liburan. Lagian, aku sama Yuta juga mau nyiapin beberapa hal untuk pendaftaran kuliah nanti." Kara kemudian menepuk pundak pemuda di sampingnya. "Maaf sudah bikin kamu khawatir. Tenang saja, semua baik-baik saja," ucapnya.
Alih-alih membaik, Asta justru merasa semakin buruk. Orang-orang di sekitarnya begitu baik untuk berusaha memahaminya, hingga membuat Asta merasa kian merepotkan.
Asta menggigit bibir bawahnya, tangan kanannya yang berada di bawah meja mengepal. Mati-matian ia menjaga emosinya, berusaha untuk tetap tenang. Tidak ingin lepas kendali lagi sama seperti beberapa hari lalu. Terlebih, ia benar-benar tidak ingin mengacaukan hari ini.
"Sudah ngobrolnya?"
Kehadiran Yuta yang tiba-tiba membuat Asta terkesiap. Ia sontak menatap pemuda yang justru tersenyum padanya. Belum sempat menjawab, Yuta justru menyentuh kepalanya dan mengacak-acak rambut Asta yang telah rapi.
"Jangan mencemaskan apa pun lagi."
Asta mengangguk perlahan, lantas menampilkan seperti biasanya. Ia berusaha tenang, kembali menunjukkan raut wajah berbeda dengan suasana hati sebenarnya. Ia tidak ingin lagi merepotkan dan membebani Yuta dengan berbagai masalah, ataupun emosinya yang labil.
Untuk ke depannya, Asta pasti harus lebih pintar memakai topengnya. Cukup Kejadian kemarin ia memperlihatkan kerapuhannya, ia tidak ingin lagi semakin terlihat lemah dan membuat Yuta khawatir. Terlebih, Yuta harus fokus terhadap hidupnya sendiri.
Sayangnya, baru saja ia bertekad untuk tidak merepotkan Yuta lagi. Takdir kembali membuat Asta kembali bergantung pada Yuta untuk sekian kalinya. Panggilan masuk dari nomor tak dikenal pada ponsel Kara beberapa detik lalu berhasil mengacaukan segalanya.
Satu nama yang Kara sebutkan berhasil mengubah raut wajah kedua pemuda tersebut. Kara sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan panggilan dari Karina hari ini, hingga membuat keadaan yang sempat membaik, lagi-lagi menjadi tak nyaman.
"Maaf, Tante biar—"
"A-apa Tante benar-benar mempunyai informasi tentang Mama? Tante menemukan suatu?" tanya Asta dengan menggebu-gebu setelah merebut ponsel Kara. Percakapan singkat Kara yang menyebutkan namanya membuat seakan-akan memiliki harapan.
"Benarkah?"
Asta lagi-lagi bertanya, memastikan apa yang didengarnya. Secercah harapan kembali muncul, di saat ia kebingungan dan nyaris putus asa.
"Tapi, aku sudah kembali ke Bandung, Tan," ucap Asta. Keningnya berkerut dalam saat Karina menginginkan untuk bertemu membahas ini. Pergi ke Jakarta lagi, tampaknya tidak akan semudah sebelumnya.
"Benarkah? Wah, kebetulan sekali saya juga sedang berada di Bandung. Di tempat teman yang saya maksud, bagaimana kalau kita ketemunya di sini saja."
Asta terpaku di tempatnya, cukup terkejut dengan kalimat Karina. Ia tak menyangka akan mendapatkan kemudahan seperti ini, ketika semuanya terasa begitu sulit. Ia tentu tidak akan melewatkan kesempatan ini, bahkan ingin segera menemui Karina secepat mungkin.
"Terima kasih banyak, Tante."
Usai mendapatkan alamat tempat Karina berada, serta mengatur jadwal pertemuan mereka, ia pun mengembalikan ponsel Kara. Asta yang cukup terkejut atas kejadian tersebut lantas kembali duduk di kursinya. Degup jantungnya masih begitu cepat, bersama tangan yang mulai gemetar.
"Asta, kamu nggak apa-apa?" tanya Kara, khawatir pada Asta yang tampak begitu syok
Alih-alih menjawab pertanyaan Kara, Asta justru beralih pada Yuta. Diraihnya tangan pemuda yang sejak tadi hanya diam dengan wajah penuh emosi. Asta tahu, Yuta akan menentang, tetapi hanya Yuta yang bisa ia mintai bantuan saat ini.
"Yut, bisa tolong antar aku menemui Tante Karina?"
Asta menggenggam erat tangan Yuta, menunduk begitu dalam di hadapan saudara tak sedarahnya. Ia tidak memiliki pilihan selain merepotkan Yuta kali ini. Ia tidak dapat naik sepeda ke tempat Karina yang butuh waktu berjam-jam, meminta ongkos pun ia merasa semakin tidak enak bila merepotkan Giska ataupun Rayhan. Lagi pula, ia dan Karina berjanji temu hari ini saja, karena esoknya Karina akan kembali sibuk dengan aktivitasnya. Asta tentu tidak ingin melewatkan kesempatan ini.
"Baiklah." Pada akhirnya Yuta menyerah, "tapi dengan satu syarat," katanya dengan tegas hingga membuat Asta kembali menatapnya.
"Lupakan keinginan untuk menemukan bajingan itu. Apa pun yang berkaitan dengan laki-laki itu, jangan pernah berniat untuk menemuinya."
"Tapi, Yut—"
"Kamu mau atau tidak?" sela Yuta," kalau tidak. Aku tidak akan pernah membiarkanmu untuk menemukan hal apa pun menyangkut mamamu."
Tak memiliki pilihan lain, Asta akhirnya mengiyakan kalimat Yuta. Memaksa dan berdebat saat ini bukanlah pilihan yang tepat. Untuk mencari tahu mengenai ayahnya, akan ia pikirkan nanti, setidaknya ia telah menemukan petunjuk.
______
![](https://img.wattpad.com/cover/255267304-288-k824559.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...