22 - Ingin Bahagia

35 6 1
                                    

Pemuda kurus, berkulit pucat tersebut segera meninggalkan ruang kelas begitu jam pelajaran telah selesai. Asta tergesa-gesa menuju tempat parkir untuk mengambil sepeda, bergegas untuk pulang.

Ini hari pertamanya kembali bersekolah, memasuki SMA yang terletak tak jauh dari rumahnya. Asta mengayuh kendaraannya dengan cukup cepat, khawatir meninggalkan Manda di rumah seorang diri. Meskipun sang adik berulang kali mengatakan baik-baik saja tanpa siapa pun, Asta tetap khawatir.

Selama seminggu terakhir tinggal bersama keluarganya. Hubungan mereka pun perlahan membaik. Perlahan-lahan Manda mulai tampak nyaman, bahkan mulai menerima mamanya.

Kesehatan Rein pun berangsur-angsur membaik. Selama seminggu ini, Regan benar-benar memperhatikan proses pemulihan Rein dengan membaik, bolak-balik tiga hari sekali untuk kontrol di rumah sakit.

Rein pun mulai memahami keadaan yang sekarang. Sadar dengan apa yang terjadi saat ini. Asta bahkan dibuat menangis haru beberapa hari lalu, saat mamanya memeluk dan benar-benar memanggil namanya. Sesuatu hal yang selama ini Asta harapkan.

Semua itu tentu karena usaha Regan. Semenjak pertemuan mereka kembali, Regan sungguh berusaha untuk memulihkan Rein, membantu agar wanita itu setidaknya menjadi lebih baik. Ucapannya untuk bertanggungjawab, bukanlah hanya sekadar isapan jempol belaka.

Asta benar-benar bersyukur akan hal itu. Ia tak pernah membayangkan semua akan menjadi sebaik ini. Sosok yang sempat ia pikir berengsek karena meninggalkan mereka, justru adalah seorang ayah terbaik.

Regan berusaha mati-matian untuk memberi yang terbaik. Pria itu sampai rela menggadaikan sepeda motor satu-satunya, untuk biaya pengobatan Rein, kemudian berusaha keras mencari pekerjaan yang lebih baik, selain menjadi kuli panggul.

Oleh karena itu, Asta pun ingin membantu. Sang ayah sudah cukup kerepotan dalam bekerja, juga mengurusi mamanya. Ia tentu tidak ingin lagi menambah beban, karena itu Asta mengambil tanggung jawab terhadap adiknya. Ia akan menjaga Manda selama perhatian ayahnya terbagi dengan berbagai hal.

"Ish!" Asta tiba-tiba mendesis, menghentikan sepeda yang diberikan Reyhan di pinggir jalan.

Jari-jari kurus yang tadi memegang kemudi, kini beralih pada kepalanya. Rasa sakit itu kembali datang, bahkan terkadang terasa sangat menyakitkan. Beberapa kali Asta tak mampu menahan hal tersebut, hingga sempat jatuh tak sadarkan diri. Beruntung hal tersebut tak diketahui oleh siapa pun, sebab saat itu ayah dan mamanya sedang pergi, sementara Manda lelap tidur siang.

Asta merogoh salah satu saku tasnya, mengambil obat yang ia beli di apotik setelah mencari tahu di internet, tentang gejala-gejala yang ia rasakan. Sudah hampir sebulan ia mengkonsumsi pil-pil yang katanya dapat meredakan pening, dan sakit yang ia rasakan. Memang benar, tetapi itu hanya sesaat.

Ia menghela napas, meremas bungkusan obat di tangannya. Tak tahu harus bagaimana bila ternyata kondisinya semakin parah, padahal ia baru saja ingin merasakan kebahagiaan bersama keluarganya. Asta tentu tidak ingin membebani dan merepotkan, terlebih pada ayahnya. Sudah cukup ia melihat ayahnya kerepotan mengurus Mama, dan mencari nafkah.

Merasa lebih baik, Asta kembali mengayuh sepedanya, tak ingin Manda menunggu lebih lama. Hingga sepuluh menit kemudian, ia tiba dengan selamat.

Pintu rumah yang masih terkunci menjelaskan bila orang tuanya memang belum pulang. Asta pun mengambil kunci yang Regan berikan padanya, juga pada Manda. Rumah mereka sengaja dikunci dari luar, menghindari bila ada orang asing menerobos masuk dan menyakiti Manda yang sedang dalam kondisi terbatasnya. Selain itu, Regan juga takut Manda akan pergi begitu saja.

"Assalamualaikum, Dek. Kakak pulang, nih," ucap Asta begitu memasuki rumahnya.

Tak ada sahutan, tetapi pintu kamar yang terbuka dan menampilkan Manda dengan tongkatnya membuat Asta mengulas senyumnya. Asta mendekat, kemudian mengusap lembut puncak kepala sang adik.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang