Setelah menempuh perjalanan sekitar 25 menit, tibalah mereka di depan sebuah rumah yang tampak sederhana. Yuta memarkirkan mobilnya di sisi halaman yang terbilang cukup luas dan asri itu. Ia sempat mengabari orang tuanya lebih dulu dan menjelaskan apa yang terjadi. Akan tetapi, hanya Giska yang dapat dihubungi, berbeda dengan Rayhan.
Tiga muda-mudi tersebut terdiam begitu turun dari mobil yang dikendarai Yuta. Tatapan mereka tertuju pada dua wanita yang telah berdiri di depan pintu. Asta melangkah perlahan, lebih memasuki pelataran rumah itu bersama Kara dan Yuta, hingga terhenti tepat di depan Karina dan wanita yang tak dikenalnya.
"Dia ... dia benar-benar mirip sama Rein."
Baru saja Asta ingin mengucapkan salam, tetapi kalimat dari wanita yang tampak lebih tua dari Karina membuatnya seketika bungkam. Usapan lembut di wajah membuat Asta semakin kehilangan kata, degup jantungnya berdetak tak karuan, bersama perasaan sesak yang tiba-tiba menyergap.
"Maaf, Bu. Ada baiknya, kita bicarakan di dalam." Yuta menyela.
Asta merasakan tangganya ditarik, digenggam erat oleh Yuta di sampingnya. Pemuda itu membawanya menjauh dari orang asing yang tiba-tiba menyentuhnya. Asta menurut saja dengan apa yang Yuta lakukan, karena ia tahu kekhawatiran Yuta terhadapnya.
Mereka pun lantas melangkah memasuki rumah, hingga terhenti di ruang tamu. Asta mendudukkan diri pada sofa, berada di tengah-tengah antara Yuta dan Kara. Sementara Karina dan wanita asing itu duduk bersampingan di hadapannya.Tak hanya wanita tersebut yang menarik perhatiannya, tetapi sebuah album foto, dan kotak kecil di atas meja. Rasa penasarannya pun membuncah ingin untuk segera melihat apa yang ada di sana.
"Sebelumnya, perkenalkan dulu. Dia Kak Naya, sahabat saya dan sahabat mama dari Asta," ucap Karina hingga Asta kembali menatapnya.
"Benarkah?" tanya Yuta dengan cepat. "Dari mana Tante begitu yakin? Katanya, Tante sama sekali tidak mengenal beliau, bukan? Terus mengapa tiba-tiba, dan begitu yakin?"
"Yut," tegur Asta sambil menatap Yuta yang tampak emosi. Namun, Yuta sama sekali tidak berhenti.
"Saya tidak mau dia kecewa lagi dengan harapan kosong. Sudah cukup dia terluka kemarin," ucap Yuta dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.
Atmosfer dalam ruangan itu seketika berubah, semakin panas dan menegangkan. Asta tak bersuara, raut wajah hingga tatapan Yuta membuatnya tak dapat berkata apa-apa. Sebab, jujur saja ia takut akan kembali terluka karena sebuah harapan
"Tenang. Kemarin saya benar-benar tidak mengenalinya, tetapi saat saya membahas mengenai hal ini dengan Kak Naya begitu tiba di sini, ternyata kami saling mengenal satu sama lain, bahkan pernah cukup akrab."
Tak hanya Asta yang menegang di tempatnya. Baik Yuta maupun Kara menjadi penasaran dan ingin membuktikan kebenarannya. Jika memang seperti itu, maka wajar saja bila mama Asta akan bereaksi demikian. Asta pun akan segera mengetahui tentang mamanya.
"Nak ini foto mamamu. Dulu dia sempat tinggal di sini, 16 tahun lalu," ucap Naya yang menunjuk salah satu potret dalam album foto.
Asta menggigit bibir bawahnya. Itu wajah sang mama. Tak banyak yang berubah dari dulu dan sekarang, hanya terlihat perbedaan dari berat badan, pipi yang sebelumnya berisi, kini benar-benar tirus. Melihat foto mamanya tersenyum begitu lebar, serta mata yang berbinar-binar, membuat Asta tak kuasa menahan air matanya.
"Mama dulu secantik ini. Dia dulu sebahagia ini," ucapnya sambil mengusap potret wajah mamanya yang kini ia ketahui bernama Reinita Angraeni.
"Benar, dia gadis yang ramah dan cantik. Mamamu wanita baik dan tegar. Kami dulu sangat akrab di salah satu grup kepenulisan. Karina sempat tidak mengenalinya karena selain sudah cukup lama tidak berkomunikasi lagi, dia dan Rein tidak pernah mengirim foto satu sama lain. Terlebih, teknologi masa itu belum seperti sekarang."
Asta kembali menatap Naya, mendengar dengan seksama setiap kalimat yang diucapkan wanita itu. Fakta bila mamanya merupakan seorang penulis yang memulai karir dari menulis di sebuah website. Beberapa karyanya juga katanya sempat diterbitkan, tetapi tidak cukup laris di pasaran.
"Di tahun 2007, dia datang ke sini. Katanya, ada yang menawarinya bekerja menjadi editor di sebuah penerbitan," terang Naya. "Dia senang sekali bekerja di sana, terlebih saat dia jatuh cinta dengan sesama editor si sana."
Asta menegang, menahan diri untuk tidak menyela cerita yang disampaikan Naya. Ia dapat melihat raut wajah yang perlahan-lahan berubah, hingga emosi tampak jelas dari sorot matanya. Jantung Asta pun kian berdetak lebih cepat, saat mendengar awal kehancuran mamanya.
"Malam itu, Rein pulang dengan keadaan yang sangat kacau dan berantakan. Dia langsung masuk ke kamar mandi dan menangis kencang di dalam sana. Sampai satu jam kemudian dia keluar, dan belum sempat saya bertanya dia sudah jatuh lebih dulu."
Naya menjeda kalimatnya, menghela napas guna mengurai sesak. Mengingat kejadian itu masih sangat menyakitkan baginya, ia bahkan sampai tak sanggup menahan air matanya. "Sambil menangis dia bilang ... kalau kesuciannya telah direnggut paksa," ucapnya yang kemudian menangis lebih keras.
"Siapa? Siapa yang melakukannya? Pacar Mama saat itu, atau justru orang lain?" Asta bertanya dengan cepat, perasaannya berkecamuk menuntut jawaban.
"Asta, ...." tegur Yuta, merasa semua ini sudah cukup. Ia pun mengingatkan kembali dengan syarat yang diberikannya tadi.
Namun, Asta tak peduli dan terus mendesak Naya untuk menceritakan lebih jauh. Ia sungguh harus tahu siapa pria berengsek yang telah menghancurkan hidup sang mama.
"Kemungkinan besar memang kekasihnya, karena laki-laki itu menghilang beberapa hari setelahnya. Setiap saat mau membahasnya, Rein selalu mengelak. Dia melarang saya untuk mencari dan menemuinya, terlebih dia bilang kalau orang itu telah berkeluarga."
Asta mengepalkan tangannya, tak mampu menahan emosi setelah mendengar kalimat itu. Kenapa ibunya yang sebaik itu, justru bertemu pria berengsek?
"Siapa? Siapa nama laki-laki itu?" tanya Asta dengan suara bergetar.
Alih-alih menjawab, Naya justru membuka kotak kecil di meja. Terdapat beberapa lembar foto di sana. "Dia sempat beberapa kali datang kemari. Saya pikir anaknya baik, karena ramah tetapi—"
Asta tidak lagi mendengar kalimat-kalimat Naya. Pandangannya tertuju pada selembar foto yang menampilkan kebersamaan mamanya dengan seorang pria. Ia lantas menggenggam foto itu begitu kuat, dan bergegas bangkit dari duduknya. Dia mengenali pria itu.
"Asta!"
Yuta berseru, bergegas menyusul Asta. Namun, saat berada di ambang pintu kalimat Karina membuat langkahnya terhenti untuk sesaat, sebelum kembali berlari keluar.
"Kara! Asta, mana?" tanyanya begitu mendapati Kara berdiri di pinggir jalan setelah berlari cukup jauh.
"Dia baru saja naik angkot, Yut. Aku mau mengejarnya, tapi nggak bisa," balas Kara dengan napas tersengal. Ia telah berusaha mengejar Asta secepat mungkin, sialnya dia terlambat.
"Berengsek!"
Yuta memakai dengan keras, lantas berteriak penuh emosi hingga memancing perhatian beberapa orang di sekitar. Alih-alih peduli akan hal itu, Yuta justru kembali berlari ke rumah Naya, mengambil mobilnya yang terparkir di sana.
"Aku ikut!"
Yuta tak menanggapi kalimat Kara yang kemudian duduk di sampingnya. Ia lantas melajukan mobilnya meninggalkan rumah Naya. Pikirannya kacau, tak menyangka bila pria berengsek yang menghancurkan hidup Asta adalah pria yang dikenalnya. Terlebih, fakta yang disampaikan Karina tadi membuatnya benar-benar tak menyangka akan fakta itu.
__________
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...