10 - Khawatir

68 8 0
                                    

Gemercik masih terus terdengar dari kamar mandi. Kendati wadah yang menampungnya tak lagi sanggup, tetapi pemuda itu enggan untuk mematikan sumber air.  Sengaja ia biarkan seperti itu, agar Yuta masih berpikir bila ia masih buang air besar.

Nyatanya, ia telah selesai sejak tadi. Akan tetapi, langkahnya untuk ke luar dari ruangan itu terhenti saat hidungnya kembali berdarah. Asta  berdecak, bermenit-menit telah berlalu, tetapi mimisannya belum juga berhenti.

Kepalanya pun semakin terasa pening, bahkan tangannya mulai gemetar dengan sendirinya. Asta memejam untuk sesaat, berharap semua akan membaik dan dapat keluar dari ruangan dingin ini secepatnya. Sebab, ia tidak ingin tumbang di dalam sini.

Cukup semalam ia merepotkan mereka. Yuta dan Rayhan bahkan sampai begadang semalaman karena menjaga dirinya yang tiba-tiba tumbang dan demam tinggi. Ia juga tidak ingin membebani Rayhan lagi, terlebih selama tiga hari ke depan, pria tersebut akan melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.

"Asta, kamu ngapain di dalam, hah?! Asta! Woi!"

Nyaring suara Yuta yang diiringi ketukan pintu membuat Asta kembali membuka matanya. Ia yang sempat bersandar pada dinding kamar mandi, sambil menutup lubang hidungnya dengan tisu sontak menegak.

Tisu di tangan yang telah berubah warna sepenuhnya, cepat-cepat ia buang ke lubang kloset dan menyiramnya dengan cepat. Lantas, ia kembali mengusap hidungnya berharap tak ada lagi cairan merah yang menjejak kali ini.

Hela napas lega pun ia embuskan saat lembaran tisu itu tak berubah warna seperti tadi. Akhirnya, setelah beberapa saat berlalu semuanya kembali baik-baik saja. Tremornya pun telah mereda, meski pening masih tak kunjung hilang. Namun, ia tak peduli.

Ia kemudian bangkit, mengabaikan tubuhnya yang terasa tak nyaman, Asta memilih untuk mandi sebentar sebelum keluar dari ruangan itu.

"Gila kamu, hah? Siapa yang suruh mandi?"

Asta tersenyum tipis, reaksi Yuta yang menyambutnya di depan pintu sudah tertebak. Namun, lebih baik membuat saudara tak sedarahnya itu emosi seperti ini, daripada menaruh curiga terhadapnya.

"Panas, Yut." balas Asta yang langsung mendapatkan tatapan tajam dan decakan kesal dari Yuta.

"Bego! Kamu, tuh, demam, bukan gerah! Lihat mukamu makin pucat, bentar lagi pasti demamnya naik lagi."

Asta tak menanggapi lebih jauh omelan penuh emosi dari Yuta. Tidak ada penolakan yang diberikan saat Yuta membalurkan minyak kayu putih di sekujur tubuhnya. Menyuruh memakai baju kaus sebagai dalaman, lalu hoodie abu-abu, hingga celana panjang. 

"Nggak ada yang kamu sembunyikan, kan?"

Asta yang tengah mengeringkan rambutnya menggunakan handuk sontak terhenti. "Hah?"

Sorot mata Yuta yang semakin tajam membuatnya sedikit takut. Asta tak begitu memahami dengan jelas maksud pertanyaan Yuta. Namun, melihat bagaimana sikap pemuda itu saat ini, ia tahu jelas bila emosi Yuta bukan hanya sekadar alasan ia mandi tadi.

Sementara itu hela napas panjang terdengar berat diembuskan Yuta. Ditatapnya yang lebih muda dengan lamat. Bukan tanpa alasan ia seperti ini, Asta tiba-tiba saja tumbang dengan mimisan hebat setelah kepergian Karina bersama papanya kemarin membuatnya takut setengah mati.

Kondisi Asta kemarin benar-benar membuatnya frustrasi, sebab untuk pertama kalinya Yuta melihat hal yang seperti itu. Sungguh, pikirannya saat ini benar-benar kacau, takut bila ada hal buruk yang  terjadi terhadap Asta.

"Kita kenal bukan sehari, dua hari. Dan, selama itu aku nggak pernah melihatmu seperti kemarin. Kamu nggak pernah mimisan dan merintih kesakitan sampai seperti itu."

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang