Bunyi sirene terus mengaung sepanjang perjalanan, membuat Yuta semakin tenggelam dalam duka. Ia tidak pernah membayangkan keadaan seperti ini, tak pernah menduga bila dirinya akan berada dalam mobil jenazah untuk mengantar sang adik ke rumah abadinya.
Isak tangis Rein sama yang berisiknya dengan suara sirene semakin menyayat hati, menenggelamkan orang-orang yang mengantar dalam mobil jenazah semakin tenggelam dalam luka. Regan mati-matian menenangkan istrinya yang terus-menerus terisak sambil memeluk keranda berisikan jasad putranya, sementara itu Kara merengkuh Manda yang terus menangis tanpa suara.
Namun, berbeda dengan mereka. Yuta hanya diam, tanpa menjatuhkan air mata sedikit pun. Tatapannya begitu hampa meski pandangannya tertuju pada Rein yang memeluk keranda sang adik begitu erat, sementara pikirannya berserak ke mana-mana.
Ingatannya kembali berputar ke masa enam tahun lalu, saat di mana mereka dipertemukan untuk pertama kali. Sebuah pertemuan yang berawal dari sebuah insiden yang menyebabkan dirinya bertekad untuk menjaga anak itu.
Saat itu, ia dan keluarganya yang baru saja pulang dari liburan dikejutkan oleh kejadian di tepi jalan. Ia tidak tahu apa yang terjadi sebelumnya, sampai Ziel menghentikan mobil yang mereka kendarai, lalu berlari ke pinggir jalan dengan terburu-buru.
Penasaran dengan apa yang terjadi, Yuta pun ikut turun dari mobil dan menyusul Om juga sang papa. Langkahnya sontak terhenti, tepat di samping anak yang kemungkinan lebih muda darinya, tetapi lebih tua dari Nindy.
Yuta menatap omnya yang menahan wanita dengan tampilan berantakan dan terus berteriak dengan kening mengerut, hingga beralih pada anak yang tampak memperihatinkan di depannya. Yuta menatap lamat anak yang telah dibantu berdiri oleh papanya. Anak itu tampak berantakan; wajah pucat dipenuhi lebam, pakaian lusuh yang bahkan sudah sobek di beberapa bagian, juga sorot matanya yang begitu kosong, juga bibir pucat yang gemetar.
"Lepas!"
Yuta tersentak, terkejut saat wanita yang ditahan omnya, kini mendekati anak tersebut dengan sebilah pisau ditangannya. Jantung Yuta berdebar, tetapi tidak terpaku begitu saja. Ia bergerak cepat, meraih lengan kurus anak sampingnya guna menghindari wanita tersebut dan menyembunyikan di balik punggungnya.
Beruntung, Om dan papanya sigap bergerak untuk menahan pergerakan wanita itu. Ziel kembali merebut pisau dari tangan wanita yang masih ingin menyerang anak di balik punggung Yuta. Tatapan penuh emosi, serta teriakannya yang menggelar cukup membuat Yuta ketakutan, tetapi tak menggoyahkan usahanya untuk melindungi anak di belakangnya. Ia mengeratkan genggamannya, berusaha membawa anak itu menjauh dari sana.
Wanita itu terus memberontak, berusaha melepas diri dari kungkungan kedua pria yang menahannya. Ia berteriak histeris, hingga sampai tercekat. Keinginan untuk melepaskan diri dan menghampiri anak yang dilindungi Yuta sangat besar. Bagaikan predator yang ingin mendapatkan mangsanya.
Kegaduhan yang terjadi pun mulai menarik perhatian orang-orang. Satu per satu orang mulai datang, berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orang yang kemungkinan warga sekitar mulai berbisik-bisik, mencemooh dan mencaci wanita tersebut.
"Perempuan gila itu baiknya dibawa ke rumah sakit jiwa saja. Bahaya. Bagaimana kalau bukan anaknya lagi yang diserang sama dia? Bisa-bisa anak kita yang jadi korban," ucap salah satu dari sekian ibu-ibu di sana
"Benar, tuh. Bawa ke rumah sakit jiwa saja bagusnya, meresahkan kalau dia masih di sini. Masih untung anaknya sendiri yang pukul," imbuh warga lain.
"Kan, sudah dibilang dari dulu. Baiknya usir saja mereka, bawa ke dinas sosial, biar diurus sama mereka," timpal yang lainnya.
Yuta mengeratkan genggamannya pada lengan kurus yang terasa semakin gemetar. Ia tidak begitu paham dengan maksud dari kalimat-kalimat yang terucap dengan ketus dari orang-orang di sekitarnya. Namun, ia tahu bila hal tersebut membuat anak di belakangnya ketakutan
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...