Benda pipih persegi panjang di sampingnya kembali bergetar, memunculkan nomor asing pada layar. Tanpa minat untuk menjawab panggilan tersebut, Asta lagi-lagi hanya mendiamkan sampai ponsel itu mati.
Ia berdesah, menghela napas panjang untuk sekian kalinya. Ia masih belum sepenuhnya tenang, hati maupun pikirannya masih berantakan. Terlebih, setelah mendengar suara Yuta melalui sambungan telepon beberapa saat lalu.
Seandainya tahu bila telepon masuk dari nomor asing itu adalah Yuta, tentu Asta menolak panggilan pemuda itu. Sama seperti panggilan-panggilan Yuta sebelumnya, Asya akan mengabaikannya. Sayangnya, ia terjebak dengan siasat Yuta yang menghubunginya menggunakan nomor lain.
Tidak ada pembicaraan berarti pada panggilan yang hanya berdurasi dua menit itu. Asta dengan cepat memutus sambungan, dan segera memblokir nomor tersebut, sama seperti nomor Yuta, juga orang-orang di sekitar pemuda itu. Ia benar-benar menghindari untuk berbincang dengan Yuta, atau siapa pun yang dekat dengannya.
Ia yang sebelumnya hanya menjaga jarak agar Yuta fokus pada kuliahnya, sekarang benar-benar memilih untuk menghindar. Setelah rahasia yang disembunyikan Reyhan terungkap, Asta tidak ingin lagi menjalin hubungan apa pun lagi dengan Yuta. Ia memutuskan untuk mengakhiri segala hal tentang mereka.
Seperti yang ia katakan pada Reyhan, ia tidak akan mengusik pria itu beserta keluarganya. Asta tidak akan memberitahukan siapa pun tentang kebenaran ini, terutama pada Yuta. Pemuda itu memilih menutupi semua fakta yang ada, melepas Reyhan tanpa menuntut pertanggungjawaban apa pun. Asta mengalah, membiarkan ayah biologisnya itu hidup bahagia. Lagi pula, ia tidak ingin membuat Yuta akan merasakan kekecewaan yang sama saat semuanya terungkap.
Yuta akan hancur, emosinya akan tidak terkendali hingga kemungkinan berdampak dengan kehidupan sehari-harinya. Asta tidak ingin mengacaukan hal apa pun. Dirinya yang meminta Yuta untuk mulai menata hidupnya, fokus pada kuliah tanpa harus memikirkannya. Tentu Asta tidak ingin membuat hal itu berantakan bila melibatkan Yuta dalam masalah ini.
Ponsel di genggaman kembali bergetar, mengembalikan kesadaran Asta yang termangu di kursi sebuah taman. Tempat yang sebelumnya ramai itu, kini hanya menyisakan dirinya. Entah di mana posisi tepatnya ia sekarang, tadi dirinya hanya melangkah tanpa tentu arah hingga berakhir di tempat ini.
Asta menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskan secara perlahan. Kali ini bukan lagi dari nomor yang tidak dikenal, tetapi panggilan dari Regan. Waktu yang tertera pada layar ponselnya sudah menunjukkan pukul 19. 15, pantas saja pria tersebut kembali menelponnya.
Tidak ingin membuat Regan semakin terbebani, Asta memilih untuk menjawab panggilan tersebut. Ia yakin bila pria baik hati itu pasti sudah sangat khawatir, karena dirinya belum juga kembali.
"Pulang, Nak."
Asta menarik salah satu sudut bibirnya ke atas, miris mendengar kalimat pertama dari Regan begitu menerima panggilan. Getar suara yang terdengar jelas membuat Asta tahu seberapa gusar pria itu sekarang.
"Sudah cukup menenangkan dirinya sendirian, ya. Ayo pulang, Nak. Ada Mama, adik, sama Ayah yang tunggu kamu di rumah. Kamu tidak sendirian, hm"
Air mata Asta jatuh begitu saja. Kalimat Regan yang terucap begitu lembut, membuatnya jantungnya berdebar. Namun, kali ini bukan merasa tak nyaman seperti sebelumnya.Asta merasakan desiran yang berbeda, hangat dan nyaman.
"Nak, kenapa diam saja? Kamu tidak apa-apa, kan? Kamu baik-baik saja? Kamu dengar Ayah, kan? Asta! Jawab, Nak, kamu—"
"Ayah," sela Asta pada akhirnya. Tidak tega membuat Regan yang di sana semakin khawatir. Ia sudah cukup mereka pria tersebut. Akan sangat tidak tahu diri bila ia semakin berulah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...