Asta menghela napas yang terasa berat. Perjalanan dari Bandung cukup membuatnya kelelahan. Ia memejam sesaat, berusaha mengumpulkan tenaga sebelum turun dari mobil yang dikendarai Pak Yudi. Merasa lebih baik, ia pun segera membantu Manda menuju rumahnya.
Meski sempat terkejut dengan sentuhan Asta, tetapi Manda menerima genggaman yang kemudian menuntunnya. Asta tersenyum tipis, perlahan hubungannya dengan sang adik mulai membaik, meski Manda masih kerap tampak tak nyaman.
"Aku bantu Pak Yudi turunin beberapa barang dulu," ucap Asta setelah membuat Manda duduk dengan nyaman di ruang tamu, bersampingan dengan mamanya.
"Biar Ayah saja." Regan baru saja akan bergerak, tetapi tertahan oleh Rein yang memeluk lengannya erat. Wanita itu sama sekali tidak melepaskan Regan meski hanya sesaat.
"Nggak apa-apa, Yah. Aku saja. Nggak banyak juga. Kata Pak Reyhan sisanya akan dikirim besok." Asta tentu tidak ingin mengganggu kenyamanan mamanya, terlebih hanya Regan yang bisa membuat Rein tenang.
Rein menerima Regan dengan begitu baik, tanpa penolakan sama sekali. Asta sampai dibuat takjub, tak percaya akan hal itu, padahal dirinya selama ini mati-matian membuat mamanya dapat merasa nyaman dan lebih baik.
"Ayah tolong bawa Mama untuk istirahat saja. Sepertinya Mama capek banget," ucap Asta, tak tega melihat mamanya lemas dan menguap lebar.
Regan menyetujui hal itu, kemudian membawa Rein memasuki kamarnya. Namun, sebelum jauh melangkah ia kembali berbalik menatap anak-anaknya. Lebih tepatnya Manda yang hanya diam dengan tatapan kosongnya.
"Manda juga ke kamar, ya, buat istirahat," ucapnya sebelum benar-benar memasuki kamar.
Manda berdecak, kesal dengan sang ayah yang hanya menyuruh. Biasanya, pria itu tidak akan meninggalkannya seperti ini. Ayahnya selalu menemaninya, memberikan kalimat semangat dan penenang, serta mengecup keningnya sebelum tidur. Namun, semenjak Asta dan mamanya muncul, Manda tidak pernah lagi mendapatkan hal seperti itu.
"Dek, Kakak antar ke kamar, ya."
"Nggak perlu! Aku bisa sendiri," ucap Manda setelah menyentak tangan Asta. Ia lantas berdiri, dan kemudian berjalan menuju kamar dengan bantuan tongkat.
Asta tidak melakukan apa pun. Ia hanya diam di tempat, mengawasi setiap langkah Manda yang kemudian hilang di balik pintu kamar. Ia tidak akan memaksa Manda untuk langsung menerimanya juga Mama dengan baik. Ia tahu jelas bila adiknya butuh waktu dengan semua ini.
Sama seperti bersikap terhadap mamanya sekarang, Asta juga menerapkan hal serupa terhadap Manda. Asta tidak akan terburu-buru untuk mendekat agar dapat segera diterima. Ia biarkan semua berjalan apa adanya.
Usai memastikan Manda telah di kamarnya, Asta bergegas membantu Pak Yudi menurunkan barang-barang. Tidak banyak, hanya beberapa tas berisi pakaian, sisanya akan dikirimkan Reyhan besok.
"Sudah semuanya, ya, Den?" tanya Pak Yudi memastikan sebelum menutup pintu bagasi mobilnya.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak," balas Asta, "istirahat di dalam dulu, Pak."
"Ah, saya sepertinya mau langsung balik, Den. Sebelum semakin malam. Besok juga Bapak ada jadwal, jadi nggak bisa lama-lama."
Asta mengangguk, tentu paham dengan posisi Pak Yudi. Sebagai supir pribadi, pria itu tentu harus siap melayani Reyhan. Termasuk perintah mengantar Asta ke Jakarta kali ini, mau tidak mau membuat pekerjaan Pak Yudi bertambah.
"Ya, udah, deh. Makasih banyak, ya, Pak. Bapak udah nganterin saya. Maaf juga karena merepotkan Bapak." Asta tersenyum kikuk, merasa canggung dan bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
Fiksi UmumBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...