Berjam-jam berlalu, tetapi pemuda itu masih enggan untuk beranjak. Matanya yang tampak begitu lelah terus tertuju pada sang adik yang kini terbalut kain hingga sekujur tubuh. Lantunan ayat suci yang memenuhi ruangan kecil itu semakin membuat hati Yuta semakin patah, menghancurkan perasannya begitu parah.
Jerit tangis dari Rein kembali terdengar memilukan. Wanita itu semestinya bahagia atas pernikahan yang digelar beberapa jam lalu, tetapi tak ada senyum sama sekali di wajah ayunya. Rein akan bersikap seperti itu kala sadar dari pingsannya, berteriak histeris dan kembali jatuh tak sadarkan diri di pelukan semuanya. Entah sudah berapa kali siklus itu terus berulang, membuat para pelayat merasa iba dengan keadaan yang ada.
Yuta melihat kekacauan itu dalam diam. Ia tidak beranjak untuk membantu Regan menangani Rein yang kembali kehilangan kesadarannya. Jangankan memberikan bantuan, untuk berdiri saja Yuta bahkan tak sanggup. Tubuhnya terasa tak bertulang, begitu lemas dan hanya bisa menatap raga tak bernyawa adiknya dengan perasaan hancur.
Ia kembali memejam, berusaha untuk terlelap dan berharap akan bangun dengan keadaan yang berbeda. Namun, berulang kali ia melakukan hal serupa, hasilnya tetap sama. Semuanya bukan sekadar mimpi, Asta benar-benar meninggalkannya tanpa pamit.
Senyum yang ia lihat dari sang adik tadi adalah yang terakhir, padahal Yuta telah berharap adiknya akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan setelah ini. Yuta pun telah bertekad untuk menjaga dan melindungi sang adik, akan mengupayakan kesembuhan yang kata dokter peluangnya begitu tipis. Sayangnya, Asta pergi lebih dulu. Ia kalah, bahkan sebelum sempat berjuang.
Yuta kembali menjatuhkan air matanya dalam diam. Seandainya, tadi ia tidak meninggalkan adiknya, mungkinkah mereka masih bersama? Atau bila seandainya dirinya tahu semua kebenaran yang ada sejak awal, mungkinkah takdir adiknya akan berubah? Bisakah Asta tetap bersamanya dan membuat anak itu lebih bahagia dalam hidupnya?
Pikiran Yuta menjadi benar-benar kacau, berbagai perandaian yang memenuhi kepalanya membuat perasaannya kian berantakan. Sayangnya, semua yang terjadi saat ini tidak dapat untuk ia ubah satu pun. Ia telah kehilangan, sang adik meninggalkannya begitu saja dengan cara yang begitu tiba-tiba.
"Yuta ...."
Tepukan halus di pundak membuat Yuta yang tenggelam akan pikirannya sontak tersentak. Pandangannya kemudian beralih pada sosok yang kini duduk di sampingnya. Yuta mengerutkan keningnya, sedikit menyipit untuk melihat orang itu lebih jelas karena pandangannya yang tiba-tiba memburam.
"Kar," ucapnya dengan suara bergetar, begitu dapat melihat wajah kekasihnya dengan jelas. "Asta, Kar, .... dia pergi. Adik aku ... dia—"
Belum sempat Yuta menyelesaikan kalimatnya tangis Yuta lebih dulu pecah. Ia kembali menangis begitu keras, setelah hanya terpekur tanpa semangat sejak tadi. Ia menumpahkan seluruh tangisannya pada Kara yang menariknya ke dalam pelukan.
"Kenapa takdir begitu jahat sama dia, Kar? Kenapa dia harus seperti ini? Kenapa adikku harus menderita seperti ini?" racau Yuta dengan suara seraknya. Ia tergugu dalam pelukan Kara yang juga menangis bersamanya.
"Yut, istighfar. Tenang, Nak."
Yuta sontak melepaskan pelukannya dari Kara, berbalik menatap orang lain yang berada di sampingnya. Kini ia menyadari bila bukan hanya Kara yang datang, melainkan seluruh keluarganya. Termasuk pria berengsek yang menjadi penyebab kehancuran hidup adiknya.
Pemuda itu sontak berdiri, tanpa peduli Kara maupun mamanya yang berupaya menenangkannya tadi hampir terjatuh dengan pergerakan yang tiba-tiba itu. Ia menatap nyalang pria bajingan itu, sebelumnya menarik kerah baju dan menyeret Reyhan keluar dengan kasar.
"Yuta!"
Kara dan Giska sontak berteriak melihat tindakan Yuta. Kedua perempuan itu semakin histeris saat Yuta melayangkan pukulannya ke wajah papanya dengan begitu keras, berulang-ulang hingga Reyhan terkapar di tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...