15 - Ternyata Dia

32 5 0
                                    

Pemuda sipit tersebut menggenggam erat setir kemudinya, mengurutkan kening begitu dalam sesekali memperhatikan sekitar. Laju kendaraannya tidak melebihi batas normal, sebab takut akan kehilangan jejak angkutan umum yang dinaiki Asta beberapa saat lalu.

"Yut! Yut! Yut! Itu mobilnya, Yuta!"

Yuta menoleh, mengikuti arah pandang Kara yang berseru sambil menunjuk angkutan umum di depannya. Yuta lantas menekan klakson dengan keras, ia bahkan sampai membuka jendelanya dan berteriak agar kendaraan tersebut berhenti.

Namun, usahanya tak membuahkan hasil. Jarak antara mereka justru melebar. Yuta berdecak keras akan hal itu, menginjak pedal gas lebih dalam dari luar sebelumnya. Ia tidak akan membiarkan Asta semakin jauh dari jangkauannya.

"Yut, pelan-pelan!"

Yuta tidak peduli, ia terus menambah kecepatannya dengan suara klakson yang berbunyi nyaring.  Berkali-kali ia berdecak saat angkutan umum itu justru malah semakin jauh darinya. Sepertinya, pengemudi angkot itu bukan merasa takut, justru malah tertantang.

"Yuta, berhenti! Ini bahaya, Yut!" tegur Kara yang telah membaca berbagai macam doa demi keselamatannya. Cara mengemudi Yuta kali ini sungguh membuat jantungnya tidak aman.

"Yut!"

Kara berteriak keras, Yuta menambah kecepatannya hingga menyalip mobil yang mereka kejar sejak tadi. Ia kehilangan kata, jiwanya seakan melayang saat Yuta kemudian memutar kemudinya membuat mobil yang mereka naiki berputar dengan cepat. Untuk sekian kalinya, dalam waktu 15 menit ia kembali berteriak keras saat angkutan umum itu melaju kencang menuju arahnya.

Kara memejam, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia tidak dapat melakukan apa pun selain berteriak dan berharap keajaiban. Ia sama sekali tidak berniat mati muda, masih ingin menggapai mimpi dan cita-cita.

"Woi, apa-apaan kamu bawa mobil seperti itu? Mau cari masalah?"

Kara tersentak, suara berat yang menggelar, bersamaan dengan bunyi bantingan pintu di sampingnya. Mata gadis itu sontak melebar saat melihat kepala mobil angkutan umum tersebut berada tepat di depannya.

"Astaghfirullah, alhamdulilah Ya Allah, terima kasih karena masih selamat," ucapnya yang kemudian bersandar lemas pada sandaran kursi.

Sementara itu, Yuta berjalan keluar dari mobilnya dengan emosi. Mengabaikan omelan hingga makian dari sang supir angkot yang tampak begitu kesal. Langkahnya ia bawa hingga menemukan sosok yang dicarinya. Yuta pun dengan cepat menaiki angkot tersebut dan langsung menarik Asta yang terlihat begitu kacau di sana.

"Lepas, Yut!"

Hentakkan kuat ia lakukan untuk melepas genggaman Yuta pada pergelangannya. Sial, hal tersebut sia-sia. Yuta memegang terlalu kuat, hingga berhasil menyeret tubuh kecilnya.

"Yuta!"

Asta kembali menyentak tangan Yuta, kali ini ia menahan tubuhnya sekuat mungkin dan memberontak dari pemuda itu. Asta bahkan sampai harus mendorong tubuh Yuta dengan keras hingga akhirnya mereka terlepas satu sama lain.

"Jangan pikir kamu bisa pergi begitu saja, As!" Yuta tidak menyerah kembali berhasil menahan tangan Asta yang akan menaiki angkot itu lagi.

"Yut! Tolong, biarin aku menyelesaikan masalah ini," ucap Asta dengan suara bergetar. Untuk kali ini saja, ia meminta Yuta untuk tidak bersikap terlalu ikut campur.

"Nggak, kita sudah sepakat untuk hanya mengetahui tentang mamamu, kan? Tidak mencari lebih jauh mengenai pria berengsek itu. Jadi, cukup sampai di situ, Asta."

Asta menggeleng pelan. "Maaf, Yut. Aku nggak bisa," ucapnya getir. "Aku selalu ingin untuk segera menemuinya dan menanyakan begitu banyak hal padanya. Jadi, saat aku tahu siapa dia,  kenapa aku harus menahan diri? Aku ingin menemuinya—"

"Untuk apa?!" tanya Yuta dengan suara kerasnya, masa bodoh dengan orang-orang yang menjadikan mereka tontonan. "Untuk apa kamu menemui orang yang sudah jelas bajingan itu?"

Yuta melepaskan genggamannya dari Asta, beralih memegang kedua pundak anak itu. "Percuma kamu datang menemuinya, As. Kamu lihat kehidupannya saat ini? Bagaimana dia akan bertanggungjawab bila hidupnya pun sudah sehancur itu?"

Asta bungkam, mengingat pertemuannya dengan pria itu beberapa lalu. Kehidupan pria itu saat ini memang cukup memprihatinkan, kisah pilu yang dialaminya telah membuat pria tersebut hancur berantakan.

"Anggap saja itu hukuman untuknya, As. Dia sudah mendapatkan karma atas tindakannya," ucap Yuta berusaha membujuk Asta untuk mengurungkan niatnya menemui Regan.

"Nggak, Yut. Dia harus tau apa yang terjadi dengan Mama, dia harus tau kalau ada aku yang merupakan kesalahannya. Dia harus tetap bertanggungjawab atas apa terjadi denganku dan Mama," ucap Asta yang kali ini menatap mata Yuta dengan dalam."Sekalipun dia menolak kami, dan menyangkal semuanya, dia tetap harus tahu akan hal itu."

Asta menghela napas berat, berusaha menahan air matanya untuk tidak kembali tumpah. Ia tidak ingin kembali menunjukkan sisi rapuhnya di hadapan Yuta, hingga membuat saudaranya itu semakin bersikap berlebihan.

"Maaf, Yut. Untuk kali ini saja biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri," ucapnya yang benar ingin kembali menaiki angkutan umum.

"Kamu nggak bisa ke Jakarta dan menemui Regan sendiri, As."

"Yut!"

"Jangan bodoh! Kamu mau ke Jakarta dengan ongkos apa?  Kamu tau dengan pasti alamat Regan?" tanya Yuta dengan cepat membuat Asta bungkam seketika.

"Turun! Aku akan mengantarmu menemui pria berengsek itu," ucap Yuta yang kembali menarik Asta turun dari angkutan umum dan membawanya ke mobil.

Namun, sebelum memasuki mobilnya. Ia berhenti di depan supir angkot yang kini tampak lebih tenang. Kara yang berada di sampingnya, tampaknya telah berhasil meredakan amarah pria gempal itu. Lalu lintas di sekitar pun cukup lancar, membuatnya Yuta merasa sedikit lega.

"Saya benar-benar minta maaf untuk kejadian hari ini, Pak." Yuta menunduk sambil menyalami sang supir.

"Tidak apa-apa. Neng geulis sudah menjelaskannya. Tapi, ada baiknya nanti kalau bawa mobil kamu tetap harus hati-hati, untung ini mah jalannya nggak terlalu ramai."

"Iya, Pak. Sekali lagi saya minta maaf." Yuta kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna merah dari dompetnya, sebagai permintaan maaf, juga ongkos Asta tadi.

"Kalau begitu kami permisi."

Asta hanya dapat menunduk di tempatnya, tanpa berani menatap sang supir angkot. Merasa malu dan bersalah atas kekacauan yang dibuatnya. Tanpa mengatakan apa pun ia memasuki mobil Yuta bersama Kara yang duduk di kursi depan.

Yuta pun kembali mengemudikan mobilnya. Waktu yang menunjukan pukul 17.34, membuatnya harus bergegas. Ia tidak ingin tiba terlalu malam di ibukota. Ia belum terlalu mahir mengendarai mobil di malam hari.

"Yut, orang tuamu sudah dikabari?" tanya Kara setelah mendapatkan balasan izin dari orang tuanya.

"Entar aku telfon mereka," sahut Yuta yang kembali teringat dengan perkataan Karina tadi.

Sebenarnya, ia ingin mencari tahu lebih banyak lagi sebelum benar-benar menemui Regan. Sayangnya, situasi tidak mendukung saat ini. Papanya tengah di  luar daerah saat ini, sulit untuk mengkonfirmasinya sekarang.

Sementara itu, Asta hanya diam di tempatnya sambil menatap ke luar jendela. Pikirannya melayang, tetapi tangganya terus meremas foto mamanya dengan Regan.

Sebentar lagi ia benar-benar akan bertemu sang papa, sosok yang selama ini ingin dijumpainya. Namun, ia takut berharap lebih untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari pria itu. Sebab, ia tahu seberapa sulitnya kehidupan Regan saat ini.

Lantas, apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Bagaimana dengan Mama setelah ini bila Regan benar-benar menyangkal dan menolaknya?

________

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang