09 - Ada Aku

44 4 0
                                    

Waktu terasa begitu lambat berlalu, bahkan untuk pergantian detik ke menitnya pun terasa lama. Untuk sekian kalinya, pemuda itu kembali menghela napas panjang guna menenangkan diri. Sungguh, ia benar-benar gugup saat ini.

"Bentar lagi Papa sampai, katanya."

Asta mengangguk menanggapi kalimat Yuta. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk saat ini, terlalu larut dengan kegelisahan, juga berbagai pertanyaan yang ingin ia sampaikan pada Karina.

"Minum dulu, Asta." Kara menepuk pundak yang termuda di antara mereka, sambil menyodorkan minum dingin agar sang sahabat bisa lebih tenang.

"Makasih, Kar," balas Asta yang kemudian meminum airnya hingga tandas.

Tak lama kemudian, orang yang mereka tunggu benar-benar datang. Dua orang dewasa itu berjalan memasuki ruangan yang telah ditempati tiga pemuda itu sejak Tadi.

Asta sontak bangkit dari duduknya, menyambut kehadiran wanita yang telah ia tunggu sejak tadi. Jantungnya kian berdetak lebih cepat, melihat sosok Karina yang kemungkinan seumuran dengan Mama.

Ia menghela napas panjang, wanita yang disebutkan namanya oleh Mama, kini tepat berada di depannya. Mati-matian ia berusaha mengendalikan dirinya, untuk dapat lebih tenang.

Tatap keduanya sempat beradu untuk sejenak. Sampai suara berat Rayhan menginterupsi, mempersilakan tamunya, juga mereka yang ada di sana untuk duduk lebih dulu.

"Rin, ini anak yang saya ceritakan sebelumnya," ucap Rayhan tanpa berbasa-basi lebih banyak.

Asta tersenyum kaku, sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan penulis terkenal itu. Wajahnya yang tegas, membuat terkesan judes hingga Asta semakin merasa gugup dan takut.

"Jangan tegang begitu. Santai saja, kita bicaranya pelan-pelan saja. Tanyakan apa yang mau kamu tahu. Semoga ada yang bisa saya jawab."

Kalimat yang mengalun dengan begitu lembut membuat Asta sedikit merasa tenang. Pikiran buruknya atas kepribadian Karina langsung hilang begitu saja.

Namun, beberapa detik hingga menit berlalu belum ada yang mampu Asta ucapkan. Ia kebingungan harus memulai dari mana.

"Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Rin. Anak ini ingin mencari petunjuk tentang masa lalu ibunya."

Keheningan dan kecanggungan di ruangan itu pecah. Rayhan akhirnya memulai percakapan, setelah melihat Asta tampak kesulitan untuk menjelaskan. Lagi pula, memang seharusnya ia tak perlu menunggu pemuda 15 tahun itu untuk memulai topik berat ini.

Asta terdiam, pun dengan Yuta dan Kara, membiarkan kedua orang dewasa itu berbicara lebih dulu. Tiga muda-mudi itu sama-sama bungkam dengan pemikiran masing-masing. Cukup bersyukur dengan kehadiran Rayhan di antara mereka. Sebab, mereka tak tahu harus apa tanpa adanya orang dewasa.

Perbincangan terus berlangsung, sampai Rayhan menyodorkan ponselnya pada Karina, memperlihatkan foto wanita yang menjadi topik pembicaraan mereka.

"Kamu mengenalnya?" tanya Rayhan setelah mengambil kembali ponselnya dari Karina.

Seluruh pandangan penghuni ruangan itu semakin tertuju pada Karina. Harap-harap cemas menanti setiap kalimat yang akan diucapkan penulis itu.

"Maaf, Pak. Saya tidak mengenalnya sama sekali. Fotonya benar-benar asing, dan sulitnya, kita tidak tahu namanya sama sekali," ucap Karina. Ia telah mencoba menerka-nerka, menggali ingatannya lebih jauh. Namun, tak ada satu pun petunjuk tentang wanita yang mereka bicarakan.

"Tapi, Mama bereaksi waktu mendengar nama Anda. Dia ... dia-"

"Asta, ...." Yuta menyela, menggenggam telapak tangan Asta bergetar di atas paha. Ini yang ia takutkan sejak awal. Semuanya sia-sia dan hal itu hanya akan membuat Asta terluka.

"Maaf, Nak. Tapi, saya sama sekali tidak mengenal mamamu." Karina berucap lembut, melihat betapa kecewanya pemuda itu membuatnya iba.

Asta tak dapat bersuara, merasa kecewa dengan apa yang didapatkan. Harapannya pupus, tak ada satu pun petunjuk yang ia temukan. Lantas, sekarang apa yang harus ia lakukan?

"Apa mungkin mamanya Asta ini penggemarnya, Tante?" ucap Kara setelah memikirkan berbagai hal. "Tante mungkin emang nggak kenal mamanya Asta, tapi dia sebaliknya, karena hal itulah dia bereaksi setelah mendengar nama Tante Karina."

Rayhan dan Yuta mengangguk setuju atas kalimat Kara. Keduanya pun berpendapat demikian, bahkan sejak awal Yuta telah menduga akan hal itu.

"Tapi, kalau memang seperti itu. Sejak kapan beliau mengenal saya?" tanya Karina dengan kening berkerut dalam.

Ia memang telah cukup lama memulai karirnya sebagai penulis. Mulai merambah dunia literasi sejak remaja, hingga detik ini. Karirnya pun semakin bersinar setelah novel-novel terbaiknya di adaptasi menjadi film ataupun series. Wajar saja bila dirinya cukup dikenal dan memiliki penggemar, dan orang tua dari pemuda di hadapannya bisa sajan menjadi salah satunya.

"Sepertinya sulit untuk mendapatkan petunjuk. Andai kita setidaknya tau namanya, mungkin akan lebih mudah. Kalau seperti ini, sangat sulit untuk menemukan sesuatu, apalagi hanya sebatas reaksi, yang sebenarnya kita pun tidak tahu karena apa," ujar Rayhan setelah keheningan sempat mengambil alih untuk beberapa saat.

"Benar, Pak," sahut Karina dengan cepat, lantas kembali menatap Asta di depannya. "Maaf, Nak, saya benar-benar berharap bisa membantumu, tapi ternyata ini lebih sulit dari yang saya kira."

Tak ada kalimat yang mampu disampaikan Asta. Ia masih tertunduk begitu dalam dengan tangan yang mencengkram erat kain celananya. Semuanya terasa menyakitkan, sebegitu sulitnya, kah, mencari tahu tentang mamanya?

"Asta, tenang, hm."

Suara lembut Kara yang jarang didengarnya pun tak mampu membuatnya merasa lebih baik, bahkan genggaman Yuta pada tangan serta usapan di punggungnya pun tak berhasil memberikan ketenangan.

"As-"

"Ta, aku ke kamar duluan, boleh?"

Yuta dengan cepat mengangguk, lalu membantu Asta berdiri. Melihat Asta yang sampai kehilangan rona wajah, hingga berkeringat dingin seperti ini membuatnya benar-benar khawatir.

Bersama dengan Kara, ia pun menuntun Asta semakin jauh dari ruang tamu tempat mereka tadi berbincang. Namun, pada langkah ke lima, Asta berhenti dan berbalik menatap dua orang dewasa yang juga akan beranjak dari sana.

Asta menatap lamat, tampak jelas kekhawatiran dari keduanya yang membuatnya sedikit merasa bersalah. Ia terlalu banyak berharap sampai merepotkan orang lain seperti ini.

"Terima kasih, dan maaf sudah merepotkan sampai seperti ini," ucap Asta pada mereka, sebelum Yuta kembali membawanya untuk melangkah memasuki kamar.

"Aku ambilin minum dulu, ya," ucap Kara begitu Yuta telah membantu Asta duduk di ranjangnya. Tanpa menunggu jawaban gadis itu pun keluar dari kamar.

Sementara itu, kedua pemuda itu terdiam di tempatnya dengan pemikiran masing-masing. Yuta tak mengatakan apa pun, tetapi pandangannya tak lepas dari Asta yang tampak benar-benar pucat. Ia pun lantas menarik beberapa lembar tisu yang tersedia di atas nakas, kemudian menyeka keringat yang membasahi wajah Asta.

"Seharusnya memang aku tidak berharap, ya?"

Pergerakan Yuta terhenti begitu suara lirih Asta terdengar. Asta terlihat begitu rapuh di depannya, hingga membuat Yuta tak mampu lagi untuk mengiyakan kesalahan itu.

"Sekarang aku harus apa, Ta?" tanya Asta yang tak mampu menahan suaranya untuk tidak bergetar. "Aku harus apa untuk Mama? Sesulit inikah untuk mencari tahu tentangnya?"

Tak segera menjawab pertanyaan Asta, Yuta justru segera membawa Asta dalam rengkuhannya. Berusaha memberikan kenyamanan dan ketenangan pada adiknya itu.

"Ada aku, As. Kamu nggak perlu lakuin apa-apa, ada aku."

____________

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang