06 - Keras Kepala

79 8 1
                                    

Sepekan telah berlalu sejak Asta menyampaikan keinginannya. Selama itu pula hubungan dengan Yuta semakin merenggang, hingga membuat suasana rumah tidak lagi senyaman biasanya. Sosok yang selama ini telah ia anggap saudara, sekarang terasa asing. Sayangnya, Asta tidak dapat melakukan apa-apa untuk membuat Yuta kembali seperti biasa dan menerima keputusannya.

Asta tidak dapat memaksa Yuta untuk memahami apa yang diinginkan. Ia mengerti, bila dari sudut pandang Yuta, pilihan yang diambilnya adalah sebuah kebodohan.

Namun, Asta benar-benar tidak memiliki pilihan. Orang itu harus ia temukan dan meminta pertanggungjawaban terhadap Mama dan dirinya.  Entah laki-laki yang berstatus ayahnya itu akan menerima atau tidak, Asta hanya ingin bajingan itu tahu kehadirannya yang merupakan hasil dari sebuah kesalahan.

Asta sangat memahami keadaan yang ada.  Ia tidak mungkin dalam posisi ini jika keduanya orang tuanya saling mencintai. Ibunya pasti tidak akan menjadi seperti sekarang bila  laki-laki yang merenggut kesuciannya bertanggungjawab. Asta pun bukan orang bodoh yang tidak tahu maksud orang-orang yang dulu mencaci maki ibunya.

Pemuda itu berdesah, membuang napas dengan kasar guna mengendalikan diri. Mengingat  bagaimana Mama dulu diperlakukan bagai binatang oleh orang-orang. Tidak ada yang berbaik hati untuk menolong saat itu, meski mereka terseok-seok untuk bertahan hidup.

Sampai pada akhirnya takdir mempertemukan ia dengan Yuta dan keluarganya. Asta tidak pernah melupakannya, hari di mana Yuta datang bak malaikat untuknya di saat nyaris menyerah. Anak laki-laki itu dengan tulus datang mengulurkan tangan, membantu dan memberikan hidup yang lebih baik dari sebelumnya.

Bila harus menghitung berapa banyak kebaikan yang telah Yuta berikan untuk dirinya, Asta tidak pernah dapat menghitungnya. Terlalu banyak yang telah keluarga Wijaya berikan selama bertahun-tahun ini, sampai-sampai Asta tidak tahu bagaimana harus membayarnya. Oleh karena itu, ia tidak ingin merepotkan Yuta lagi. Asta ingin berjuang dan menata hidupnya sendiri tanpa harus berutang budi lebih banyak lagi.

"Nih!"

Asta terkesiap, ia yang sempat tenggelam dalam pikirannya sendiri sontak menatap gadis berkuncir di sampingnya. Sama seperti hari-hari biasanya,  gadis yang kerap disapa Kara itu datang membawa bungkusan plastik yang berisi makanan ringan dan minuman.

Untuk kesekian kalinya, Asta lagi-lagi membuang napas kuat-kuat. Ia lantas berdiri dari duduknya, mengedarkan pandangan pada sekitar, hingga menemukan penyebab Kara di sini. Tak jauh darinya, ia dapat melihat Yuta berdiri di pinggir lapangan. Untuk sesaat tatapan mereka beradu, hingga Yuta memilih untuk pergi dari sana.

Asta berdecak, geregetan dengan Yuta yang diam-diam masih memperhatikannya. Namun, sampai saat ini pemuda sipit itu tidak juga mencoba untuk kembali dekat dan kembali bertegur sapa. Sikap Yuta yang seperti itu benar-benar membuat Asta semakin bingung.

"Makasih, Kar," ucap Asta yang kembali menatap Kara dan mengambil alih plastik dari tangan Kara. "Tapi, baiknya mulai besok kamu nggak usah lakuin ini lagi. Kalau dia emang mau ngasih sesuatu, nggak usah kamu yang antar. Lagian sampai kapan, sih, dia mau kayak gini?"

"Dia hanya belum bisa terima keputusan kamu. Menurutnya ini terlalu tiba-tiba dan berisiko," kata Kara yang kemudian duduk di bawah pohon, tempat yang sama tadi Asta berdiam.

Sebagai orang yang telah cukup lama mengenal keduanya, Kara berusaha untuk tidak memihak salah satu di antara mereka. Gadis itu dapat melihat jelas bagaimana Yuta maupun Asta sama-sama terluka di sini.

Ia tidak menyalahkan Asta akan keputusannya, pun dengan sikap Yuta yang merasa begitu kecewa akan hal itu. Ia tahu keduanya memiliki alasan untuk bersikap demikian.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang