04 - Perdebatan

72 6 0
                                    

Pandangan Asta tak lepas dari layar ponsel pintar milik Yuta, membaca dengan saksama segala hal yang tentang Karina Andriana. Semakin mengetahui lebih banyak tentangnya, bahkan sampai melihat-lihat seluruh sosial media penulis itu, Asta mengerutkan kening. Rasa penasarannya makin menjadi-jadi, bingung mengapa Mama bereaksi seperti itu hanya karena nama Karina yang tak sengaja terdengar.

Sementara itu, di sampingnya Yuta pun turut mengamati dan terkadang melirik Asta yang begitu serius. Ia tidak paham atas apa yang terjadi sepenuhnya, Asta bahkan belum memberikan penjelasan mengenai mengapa begitu terburu-buru tadi. 

Tak tahan atas rasa ingin tahunya yang semakin memberontak, Yuta pun tidak lagi diam mengamati. Ia penasaran akan sosok yang membuat Asta sampai ingin meminjam ponsel pintarnya, padahal selama ini jangankan menyentuh, melirik saja Asta tak pernah berani. Yuta juga mejadi kepo melihat raut wajah Asta yang mengkhawatirkan untuknya.

"Ta, ini nama penerbitan papamu, kan?"

Yuta urung mengeluarkan suara dan mengalihkan fokusnya kembali pada layar ponsel, lantas mengangguk saat melihat nama Winxs Media. Kebetulan sekali wanita itu menjadi salah satu penulis yang bekerja sama dengan perusahaan papanya.

Asta terperangah, tak menyangka bila akan ada kebetulan seperti ini. Ia pun menarik senyum, seakan-akan menemukan harapan. Kemungkinan besar papa dari Yuta mengetahui lebih banyak informasi tentang Karina, bukan? 

"Ta, kira-kira kalau aku tanya-tanya sama papamu mengenai Karina. Bisa, nggak?"

Asta sebenarnya tidak enak untuk itu karena komunikasinya dan Reyhan tidak sesering yang lain. Mereka kadang hanya saling bertegur sapa, tidak sampai membahas hal-hal lainnya. Kesibukan Rayhan membuat pria itu hanya ada di rumah saat malam, bahkan pergi berhari-hari karena pekerjaan. Hal itulah yang kadang membuat keduanya canggung.

"Papa gak akan pernah keberatan kalau kamu nanya-nanya, tapi sebenarnya untuk apa, sih? Dia siapa sampai kamu nyari tahu tentang dia sampai seperti ini?" Yuta akhirnya mengutarakan keingintahuannya, sungguh penasaran.

Asta tidak langsung menjawab, menimbang-nimbang dalam hati apakah harus jujur atau tidak. Ia tentu sangat paham bila Yuta tidak akan puas hanya dengan satu jawaban, laki-laki itu pasti mengulik sampai ke akar-akarnya. Tentu, Asta takut keceplosan.

"Lah, malah diam." Yuta mendengkus, kesal karena Asta membuatnya kepikiran. "Serius! Ada apa sebenarnya? Sumpah, dari kemarin kamu aneh!"

Asta berdesah, tatapan Yuta yang intens membuat pertahanannya terasa goyah. Kalau sudah begini, Asta tidak dapat untuk berbohong lebih jauh. Mau tidak mau, ia harus menjelaskan.

"Aku mau cari orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap aku dan Mama, Ta."

Kening Yuta berkerut semakin dalam, otak cerdasnya belum paham. Namun, ia tidak berkata apa-apa untuk menyela, justru menunggu Asta menjelaskan lebih jauh.

"Aku mau cari orang yang seharusnya kupanggil papa, ayah atau bapak. Tapi, bikin Mama ingat masa lalunya buat cari tau, katanya tidaklah mudah." Asta mengeratkan genggamannya pada ponsel Yuta. Untuk sesaat ia merasa sedih, tetapi beberapa detik kemudian, senyumnya kembali.

"Tapi, untungnya aku menemukan sesuatu yang mungkin bisa penunjuk tentang masa lalu Mama," ucapnya sambil menunjukkan layar ponsel Yuta yang menampilkan foto Karina.

Yuta berdesah, mencoba memahami penjelasan  Asta yang tiba-tiba memberi beban pada otak dan hatinya. "Kamu yakin dari mana kalau Karina ini adalah bagian dari masa lalu mamamu? Lagi pula, buat apa cari orang itu? Kalau dia memang bertanggung jawab, ya, seharusnya dia nggak meninggalkan kalian dari awal."

Respons yang diberikan Yuta tidak mengejutkan Asta. Ia pun masih mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan, takut-takut akan mengungkapkan hal yang menjadi alasan kerisauannya selama beberapa waktu terakhir. Selain itu, ia tidak mau berdebat dengan Yuta karena keinginannya.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang