24 - Sakit

61 6 7
                                    

Asta menatap sendu pil dalam bungkusan lusuh. Ia merasa sia-sia mengkonsumsi obat itu. Bukannya membaik, ia justru merasa semakin memburuk setiap harinya. Gejala yang Asta rasakan pun semakin parah; pening, lemas, lemah otot, mimisan, sering lupa, hingga kadang kehilangan kesadaran.

Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya, karena belum memastikan kebenaran melalui pemeriksaan di rumah sakit. Asta hanya sering mencari informasi melalui internet dari ponsel baru yang diberikan Yuta beberapa waktu lalu.

Sulit baginya untuk masuk dalam bangunan berbau obat-obatan itu tanpa pendampingan dari orang dewasa. Alasan itulah yang membuat Asta memendam semua kesakitannya sendiri, tak ingin membebani siapa pun. Terlebih, ayahnya yang ia tahu sudah teramat sibuk bekerja dan mengurus mamanya.

Ia juga tidak ingin melibatkan Yuta ataupun keluarganya untuk sekadar mengantar. Asta merasa tak pantas bila dirinya meminta hal itu.

Cukup lama memandangi pil-pil yang menurutnya tak berguna lagi, Asta memutuskan untuk membuangnya. Ia akan mampir ke apotek saja setelah pulang sekolah, mencari obat yang lebih tepat untuk sakit yang ia rasakan.

Asta mengusap wajah, merapikan rambut juga seragamnya sebelum keluar dari kamar mandi. Suara keluarganya dari ruang tamu yang kembali disulap menjadi tempat makan, membuat perasaannya lebih baik. Ia tersenyum lebar melihat semuanya berada di sana dengan rona bahagia yang tampak jelas.

"Kok, lama, Sayang? Perutnya sakit, atau kenapa?" tanya Rein begitu Asta duduk di depannya, tepat di samping Regan.

"Sedikit, Ma. Kayaknya, efek masuk angin," sangkal Asta. Tak mungkin ia mengatakan bila dirinya baru saja mimisan.

"Kakak nanti tidur di kamar aku aja. Nggak apa-apa, kok," ucap Manda yang kemudian menyuapkan makanan ke mulut, setelah Rein menaruh lauk dan nasi pada sendok di tangannya.

"Nggak bisa, Dek. Bagaimana pun kita nggak boleh satu kamar, walaupun sudah jadi saudara," ucap Asta dengan cepat. Menolak tawaran itu untuk kesekian kalinya.

"Tapi, tidur di sini tidak baik. Kakak jadi masuk angin karena itu." Rein turut menimpali. Ia tahu sedingin apa ruangan itu bila malam. Jendela yang bolong karena pecah, membuat angin lebih leluasa masuk, meski telah ditutup dengan sebuah tripleks.

"Nggak apa-apa, Ma. Bukan karena itu juga, kok." Asta berusaha menenangkan. Ia cukup senang dengan perhatian keluarganya, hanya saja ia merasa tidak nyaman membebani mereka.

"Begini saja. Manda sama Mama satu kamar, biar Ayah sama Kakak satu kamar juga."

Hanya solusi itu yang dapat Regan berikan. Ia masih belum mampu menyediakan rumah yang tersedia kamar masing-masing untuk anak-anaknya.

"Lho, kok, gitu? Nggak! Mama sama Papa sudah mau nikah, masa iya langsung pisah ranjang," ucap Asta sedikit kesal dengan keputusan ayahnya.

"Kalau begitu, begini saja. Biar Mama sama Ayah tidur di sini. Kalian tidur di kamar."

Asta sontak menggeleng cepat. Tak terima dengan usulan mamanya. Mana mungkin ia tega membiarkan orang tuanya tidur di ruang tamu.

"Nggak jangan lakukan itu, Ma. Cukup seperti ini," kata Asta yang semakin kehilangan nafsu makannya. Ia kemudian pamit untuk bergegas untuk ke sekolah.

Namun, Asta yang baru beberapa langkah meninggalkan rumah langsung terhenti. Lengan kurusnya ditarik Regan, hingga akhirnya Asta berbalik, membuat mereka saling menatap.

"Habiskan sarapanmu dulu, Nak. Untuk masalah itu, jangan terlalu dipikirkan, nanti Ayah pikirkan solusinya," ujar Regan dengan lembut dan membawa anaknya masuk kembali.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang