Cukup lama ia membuang waktu di tempat ini. Cahaya bulan yang belum sepenuhnya menyapa, membuat tempat ia berpijak menjadi begitu gelap tanpa adanya penerangan apa pun. Meski begitu, Asta tetap bergeming, mengabaikan nyamuk-nyamuk yang mengusik. Keadaan begitu sunyi, hingga terdengar dering ponsel yang semakin intens meraung.
Asta tak menghiraukannya, masih butuh waktu untuk menata hati dan pikiran. Ia berusaha mengenyahkan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti.
Remaja itu kemudian beralih memandangi setiap jengkal tempatnya berada.Semua tak lagi sama, hancur dan berantakan. Jauh lebih buruk dari terakhir kali dirinya menetap di sini bersama Mama yang sudah kehilangan kewarasannya.
Rumah kardusnya sekarang sudah menjadi tempat gundukan-gundukan sampah. Tempat bernaungnya beberapa tahun lalu, kini tak meninggalkan jejak sedikit pun. Namun, walau semua telah hilang, segala hal yang terjadi di sini masih tetap jelas dalam ingatannya.
Berulang kali Asta berdesah, agar dapat menata kembali emosi yang berantakan. Pilihannya salah, tempat ini justru membuatnya semakin emosional. Kilas balik tentang kehidupannya beberapa tahun lalu membuat hatinya semakin kacau, menambah beban pikiran yang tumpang-tindih hingga ia semakin pening.
Asta memejam, memilih menyerah dan menumpahkan emosinya di bawah cahaya remang-remang. Ia pada akhirnya menangis, mengutarakan segala ketakutan, kekalutan, dan kepedihannya seorang diri.
Bermenit-menit berlalu, sampai akhirnya Asta kembali menengadah setelah terisak-isak hebat. Jejak kesedihan di wajah pun ia hapus dengan cepat, lalu bergerak merogoh saku celana abu-abu panjangnya. Kedua sudut bibirnya perlahan terangkat saat melihat nama yang tertera di ponselnya.
Tak ingin lagi membuat orang yang menyebabkan ponselnya terus meraung menjadi semakin marah. Asta segera beranjak dari tempatnya. Sudah dapat ia bayangkan wajah kesal Yuta menyambutnya. Amarah si sipit pasti meledak begitu dirinya tiba. Belum lagi dengan Giska yang akan melayangkan sederet pertanyaan atas keterlambatannya.
Untungnya, tak butuh waktu lama untuk tiba di rumah Yuta dengan menggunakan sepedanya. Ia juga tak perlu menunggu lama hingga seseorang menyambut dari balik pintu. Sesuai dugaannya, tatapan tajam Yuta langsung menusuk begitu mereka bertemu.
"Kenapa baru pulang?"
Tanpa basa-basi sang juara kelas itu bertanya. Ia mengabaikan salam yang diucap Asta lebih dulu. Kekesalannya tak tertahan, ingin rasanya ia mencak-mencak pada Asta yang telah mengabaikan dan membuatnya khawatir.
"Kamu kenapa, sih, nggak bisa nunggu aku dengan tenang? Hapeku jadi berisik gara-gara kamu, lho."
"Lho, kok, kamu yang malah sewot? Siapa suruh nggak angkat telponku? Mana gak pulang-pulang, padahal sudah malam."
Asta tak menanggapi rentetan pertanyaan Yuta, lebih memilih memasuki rumah bergaya klasik itu dengan santainya. Bukannya tak tahu diri atas perhatian Yuta, hanya saja memilih menemui orang-orang yang mungkin juga telah ia buat resah lebih dulu. Perihal Yuta, Asta akan menangani nanti.
Senyumannya melebar saat melihat seluruh anggota keluarga Wijaya berkumpul ruang keluarga, termasuk Raihan sang kepala keluarga yang terbilang cukup sibuk. Mendadak ia merasa bersalah karena membuat mereka tampak khawatir karena pulang terlambat.
"Pak, Bu."
Asta menyalami Raihan dan Giska-sepasang suami-istri yang telah berjasa dalam hidupnya-dengan santun. Entah seperti apa kehidupan ia dan mamanya tanpa campur tangan mereka.
"Kenapa baru pulang, Nak? Kamu dari mana? Tidak ada hal buruk yang terjadi, kan?" Giska memandang Asta, merasa lega melihat Asta kembali dengan keadaan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
Genel KurguBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...