Pemuda itu berdecak kesal, lantas memilih untuk menonaktifkan ponsel pintarnya, tak ingin lagi terusik oleh hal apa pun. Masa bodoh dengan orang tuanya yang terus berusaha menghubunginya. Ia pun tidak peduli bila jadwal kuliahnya akan berantakan dan berpengaruh pada nilainya. Yuta tidak ingin memikirkan itu semua, saat ini fokusnya hanya Asta.
Belum ada sebulan terpisah, tetapi jarak di antara mereka terasa begitu lebar. Yuta tidak menginginkan hal itu, sekalipun Asta telah kembali ke keluarganya. Ia sudah berlapang dada untuk mengizinkan Asta tinggal bersama orang tua kandungnya, tetapi tidak pernah rela melepas anak itu.
Ia jelas marah saat Asta mengabaikan panggilan masuk juga pesannya. Anak itu bahkan memblokirnya, meski Yuta berusaha menghubungi dengan nomornya baru. Namun, dibandingkan rasa marahnya, Yuta jauh lebih khawatir. Pemikiran buruknya tentang kondisi Asta, membuatnya kian resah.
Benar saja, apa yang dilihatnya sekarang tentang kondisi Asta membuatnya miris. Saudaranya itu kehilangan berat badan yang cukup signifikan. Pipinya semakin tirus, serta lingkar hitam di bawah mata yang semakin jelas. Parahnya, Asta saat ini sedang sakit, tetapi mereka yang berstatus keluarganya hanya mendiamkan, tak membawanya untuk segera ke rumah sakit.
Yuta mendengkus, kesal dengan situasi sekarang.
Sialnya, ia tidak bisa datang lebih cepat dari ini. Jadwal cukup padat, padahal ia masih terbilang masih baru. Ia pun kesulitan mendapatkan izin, terlebih dari kedua orang tuanya meminta ia untuk fokus kuliah."Yut, ...."
Suara yang memanggil dengan lirih itu sontak mengalihkan perhatiannya, sontak ia menjatuhkan lintingan tembakau yang baru terbakar beberapa. Ia cukup terkejut akan kehadiran Asta yang semestinya sudah tidur.
"Sejak kapan kamu ngerokok?" Asta bertanya dengan cepat, menyela Yuta yang baru saja akan berucap.
Ia benar-benar terkejut mendapati saudaranya itu berdiri di depan rumah sambil menghisap sebatang rokok. Ia pikir, Yuta hanya sibuk menerima panggilan yang entah dari siapa, karena itulah alasan Yuta keluar dari kamarnya.
"Yut, aku nanya! Sejak kapan kamu mulai merokok kayak gini?" tanya Asta kembali saat Yuta masih saja bungkam.
"Sejak kamu pergi dari rumah, teman kuliahku nawarin. Awalnya, nggak enak, tapi lama-kelamaan bikin ketagihan," balas Yuta pada akhirnya. "Apalagi kalau lagi stres, rasanya jauh lebih nikmat."
Asta mengepalkan kedua tangan yang berada di sisinya. Jawaban Yuta membuat emosinya berkecamuk, tetapi ia tidak memiliki hak untuk marah. Sebab, Asta cukup sadar diri bila alasan Yuta menjadi perokok juga karenanya. Andai ia tidak meninggalkan, mungkin Yuta tidak akan pernah menyentuh rokok sama sekali.
"Kamu kenapa keluar? Harusnya kamu tidur dan istirahat, ayo masuk!" seru Yuta yang kemudian menarik tangan Asta untuk segera masuk.
Namun, Asta menolak untuk melangkah. Ada banyak hal yang ingin ia katakan dengan saudara seayahnya itu. Tidak tahan dengan situasi ini, jadi mumpung Yuta berada di sini, Asta ingin membicarakan semuanya.
"Aku baru bangun, Yut. Masa mau tidur lagi, lagian baru jam sepuluh," ucap Asta yang kemudian mendudukkan dirinya pada undakan di tangga kecil.
Yuta berdecak, menolak kegilaan Asta yang masih ingin bertahan di luar rumah. Wajah Asta teramat pucat, angin malam tentu tidak akan baik untuknya.
"Masuk, As! Ngapain malah duduk, sih?" Yuta mencoba menarik Asta, tetapi anak itu masih tetap bertahan di posisinya membuat Yuta mendengkus kesal. "Masuk, atau aku seret kamu ke rumah sakit sekarang juga!"
Yuta tak sekadar mengancam, bersungguh-sungguh atas ucapannya. Sejak tadi ia memang telah berniat untuk melakukan hal itu, hanya saja Asta terlalu keras kepala. Terlebih, keluarga Asta juga tidak memaksa sama sekali, membiarkan Asta tetap sakit tanpa mendapat penanganan dari ahlinya. Maka seolah-olah, mendapatkan kesempatan untuk membawa Asta ke rumah sakit, Yuta tentu tidak akan menyia-nyiakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
Fiksi UmumBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...