20 - Pertemuan dan Perpisahan

42 7 2
                                    

Untuk sekian kalinya pemuda itu kembali menghela napas. Sekitar 25 menit berlalu, tetapi sang ayah yang memasuki ruang rawat Mama belum juga keluar. Asta menjadi semakin gusar di setiap detiknya, takut bila hal yang tak diinginkan terjadi di dalam sana.

Mama bisa saja mengamuk, menolak kehadiran ayahnya. Atau lebih buruknya, Mama bisa saja semakin drop saat bertemu ayahnya. Semua pemikiran buruk itu terus terputar dalam kepala, membuat Asta semakin khawatir.

Tak tahan dengan resah yang semakin menjadi-jadi, Asta memilih untuk bangkit. Ia tidak ingin lagi sekadar menunggu, lagi pula dirinya merasa cukup berhak untuk tahu apa yang terjadi.

"Tunggu saja, As."

Baru saja akan melangkah, genggaman Yuta pada lengannya membuat ia tertahan. Asta menggeleng, tidak tahan rasanya bila hanya harus duduk diam seperti ini.

"Beri mereka waktu. Lagi pula, kalau ada apa-apa Om Ziel atau yang lain pasti akan keluar dengan panik. Tenang saja," ujar Yuta yang turut bangkit, lalu membawa Asta kembali duduk pada tempatnya.

Sebenarnya, ia pun cukup penasaran tentang apa yang terjadi dalam ruang rawat mama Asta saat ini. Namun, dibandingkan peduli dengan itu, Yuta justru lebih khawatir dengan keadaan Asta. Entah mengapa, anak itu tampak begitu pucat.

"Jangan khawatir." Yuta mengusap punggung Asta setelah ikut duduk di sampingnya. 

Ia sedikit membenci keputusan Regan yang begitu tergesa-gesa ingin segera menemui Rein, padahal tahu bila anak-anaknya baru keluar dari rumah sakit dan tiba di Bandung beberapa jam lalu. Sayangnya, Yuta tak dapat meluapkan emosi dan menahan Regan yang begitu terburu-buru. Sebab, ia sadar bila dirinya tak memiliki hak untuk itu. Terlebih, Yuta masih merasa bersalah karena orang tuanya pun turut terlibat atas kekacauan yang terjadi.

"Kenapa mereka lama sekali? Setidaknya, aku harus tahu apa yang terjadi di dalam, Yut."

"Selama Om Ziel, ataupun Om Regan tidak datang dengan wajah paniknya, semua pasti baik-baik saja." Yuta kembali menenangkan, meski perasannya pun gelisah.

Yuta tidak mengkhawatirkan apa yang terjadi saat ini, tetapi apa yang akan terjadi selanjutnya. Mempertanyakan bagaimana bila Asta benar-benar harus pergi dan tinggal bersama orang tua kandungnya?

"As, ...." Yuta memanggil dengan suara rendah. Meski sadar bila ini bukanlah waktu yang tepat, tetapi dirinya tidak tahan untuk menunggu.

"Kamu benar-benar akan pergi dan tinggal sama Om Regan?"

Asta yang sebelumnya sibuk menatap lorong menuju ruang rawat mamanya sontak menoleh pada Yuta. Ia tersenyum, sudah menduga bila Yuta akan menanyakan hal tersebut.

"Ayah orang yang baik, Yut. Dia bertanggungjawab. Jadi, kamu nggak perlu khawatir," balasnya, "aku pasti akan baik-baik saja."

Yuta mengangguk, tak menyangkal sama sekali. Ia tidak mengelak pernyataan tentang sosok Regan. Meski baru mengenalnya, Yuta dapat merasakan ketulusan dari pria itu, menghancurkan anggapan tentang pria berengsek yang telah merusak hidup Asta. Ia bahkan berani bertaruh, bila Regan akan bertanggungjawab penuh terhadap Asta bila saja tahu semuanya dari awal. 

"Kamu benar. Dia pasti akan bertanggungjawab dan menebus semua yang telah terjadi," balas Yuta yang berusaha keras merelakan.

Ia tidak memiliki hak untuk melarang dan menahan Asta. Sudah cukup papanya yang membuat Asta kesulitan, ia tidak ingin egois. Asta pantas bahagia bersama keluarganya.

"Jangan khawatir, Yut. Aku pasti akan baik-baik saja." Asta berucap sembari menepuk pundak Yuta, berusaha memberikan ketenangan pada saudara tak sedarahnya.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang