Usapan lembut pada keningnya, membuat Asta tidak ingin beranjak sama sekali dari pangkuan sang mama. Katakanlah ia egois karena menahan wanita itu untuk bergerak jauh dari jangkauannya selama hampir setengah jam.
Asta begitu menyukai setiap sentuhan yang diberikan Rein dengan penuh kasih. Belain hangat dan lembut tersebut benar-benar memanjakan Asta hingga rasanya enggan untuk mengakhiri semua begitu cepat.
Ia tersenyum tipis, tanpa melepaskan pandangan dari Mama yang terlihat begitu cantik meski usianya tidak muda lagi. Asta menatap lekat wajah Rein, memperhatikan setiap lekuknya dengan begitu teliti. Semakin hari aura dan kecantikan wanita itu terus meningkat, tidak terlihat berantakan dan pucat sama seperti ketika ia masih dirawat pada rumah sakit jiwa di Bandung.
Wajah Rein semakin terlihat berseri-seri, sorot matanya tak lagi menampakkan luka, pun dengan bibir yang semakin sering melengkung ke atas. Aura wanita 43 tahun tersebut bahkan semakin menjadi-jadi, terlebih menjelang hari pernikahannya yang akan digelar besok.
Sebentar lagi, wanita itu akan dinikahi oleh pria yang dicintainya. Hal itulah yang membuat Rein terlihat sangat bahagia, tak pernah melunturkan senyumnya, benar-benar tidak sabar untuk hari esok.
"Nak, pindah ke kamar saja, ya, kamu masih harus istirahat."
Suara berat Regan tiba-tiba hadir memecah keheningan di antara Asta dan mamanya, sedikit merusak momen kebersamaan mereka. Pemuda berkaos merah yang dipadukan dengan kardigan abu-abu, juga celana olahraga panjang berwarna hitam itu sontak berdecak. Bukan karena terusik dengan kehadiran Regan di antara ia dan mamanya, hanya saja Asta bosan mendengar pertanyaan yang sama untuk sekian kalinya.
Ia sudah baik-baik saja dibandingkan pagi tadi. Badannya sudah lebih segar, suhu tubuhnya mulai menurun, jadi sudah tidak ada alasan baginya untuk kembali berdiam diri di kamar. Ia ingin menikmati kebersamaan dengan Rein, sebelum mamanya itu benar-benar menjadi milik Regan.
"Sekarang dia sudah baik-baik saja, Gan. Sudah tidak sepanas pagi tadi," ucap Rein lebih dulu sebelum Asta berbicara. Hingga membuat si kurus itu tersenyum puas.
"Tapi, dia masih harus istirahat," balas Regan yang kemudian beralih menatap Asta. "Jangan sampai kondisinya besok malah semakin parah. Bisa gagal, lho, dia lihat Mama sama ayahnya nikah."
Asta mendengkus mendengar kalimat sang Ayah yang terucap dengan mimik wajah menyebalkan. Namun, sialnya Asta tidak dapat mengelak dan akhirnya menurut. Besok adalah hari yang penting, Asta tentu tidak ingin melewatkan momen itu. Ia bahkan ingin menjadi saksi pernikahan Rein besok.
"Aku anterin ke kamar, ya, Kak." Manda yang sejak tadi duduk di samping Rein sambil sesekali memijat kaki Asta yang dingin, ikut bangkit dari duduknya.
Bukannya tidak ingin menikmati kebersamaan kedua orang tuanya dengan berada di antara mereka, tetapi Manda ingin selalu bersama sang kakak. Sejak kemarin, hingga detik ini ia merasa begitu takut akan kehilangan Asta.
Ia tahu masalah yang ada, mengerti tentang semua hal yang terjadi setelah mendesak ayahnya untuk bercerita saat Asta tak kunjung pulang. Mengetahui fakta bila sebenarnya mereka tidak terikat darah sama sekali membuat Manda merasa kecewa. Perasaannya ikut hancur dan terluka, takut bila Asta justru memilih pergi dari ia dan ayahnya.
Meski sempat merasa marah dan kecewa, tetapi Manda jauh lebih khawatir bila Asta menolak kenyataan dan malah mengejar ayah kandungnya. Manda tentu tidak ingin hal tersebut terjadi. Ia telah sangat menyayangi Asta sebagai kakaknya, meski awalnya sempat sulit menerima.
Manda mengeratkan genggamannya pada jari-jari Asta. Keduanya melangkah perlahan memasuki kamar hingga terhenti tepat di depan ranjang.
"Dek, ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAHASIA
General FictionBerbekal tekad dan secuil harapan, ia mulai mencari dan menelusuri jejak keberadaan orang yang harus bertanggung jawab atas hidupnya. Namun, di saat ia berpikir telah mencapai akhir dari pencariannya. Sebuah kenyataan justru berhasil memadamkan asan...