12 - Hidupku, Hidupmu

51 8 0
                                    

Kekecewaan atas harapnya yang sia-sia masih terasa menyakitkan. Asta pikir, pertemuan dengan Karina akan memberikan secercah harapan, menuntunnya untuk mengetahui lebih dalam tentang Mama dan hal-hal yang tak ia ketahui. Namun, kenyataanya ia tidak menemukan satu pun.

Alih-alih membaik, perasaannya justru semakin memburuk. Entah apa yang salah dengan dirinya, hingga emosinya semakin mudah untuk terpancing. Sama seperti kejadian beberapa hari lalu.

Kejadian di rumah Regan saat itu adalah hal yang tak pernah ia duga. Emosi yang ia jaga selama ini, lepas begitu saja. Ia tak dapat mengontrol diri seperti biasa, hingga menunjukkan kerapuhannya pada Yuta, dan Regan yang baru dikenalnya.

Asta membenamkan wajahnya di atas lipatan lutut yang ditekuk. Dampak dari kejadian hari itu membuat segalanya semakin berantakan, hati, pikiran, juga situasi yang terjadi. Tangan yang semula memeluk kedua kaki pun kini beralih mencengkeram rambutnya. Marah, kecewa, sedih, bingung, takut, hingga merasa bersalah.

Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Memikirkan tentang Mama, keinginannya untuk menemukan sosok yang bertanggungjawab atas hidupnya, tentang ketakutan akan hal buruk yang bisa saja terjadi, rasa bersalahnya terhadap Regan, maupun Kara. Semua itu membuat kepalanya terasa ingin pecah.

Rasanya, tak sanggup untuk memikirkan semuanya. Namun, ia tidak dapat mengabaikan hal yang telah terjadi dan bersikap bodo amat. Asta sungguh ingin menemukan laki-laki yang telah membuat Mama seperti ini. Ia pun tidak ingin hubungan Yuta dengan Kara merenggang, karena batalnya rencana untuk menghabiskan waktu liburan di Jakarta.

Raut wajah Kara yang menunjukkan kekecewaan masih terbayang hingga sekarang. Gadis itu bungkam sepanjang perjalanan karena keputusan Yuta yang sepihak. Pertengkaran Yuta dan Kara kala itu masih teringat jelas, Asta bahkan masih mengingat bagaimana Kara sempat menatapnya tajam.

Asta tidak menyangkal saat Kara menyalahkannya saat itu. Namun, keputusan Yuta untuk kembali ke Bandung saat itu, sama sekali bukan keinginannya. Seandainya bisa, ia pun ingin memaksa Yuta untuk tetap menikmati liburan di sana.

Sayangnya, Yuta tak semudah itu untuk mengubah keputusannya. Walau berkali-kali ia mengatakan bila dirinya baik-baik saja saat itu, dan tetap ingin berada di sana, Yuta tetap memaksa untuk kembali. Pemuda itu tak ingin lagi berlama-lama berada di ibukota, seakan-akan tempat itu memberikannya luka yang begitu dalam.

"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya sambil melepaskan cengkeraman pada rambutnya. 

Ia menghela napas, kembali menyandarkan tubuh pada sisi ranjangnya. Lelah mulai menyapa, matanya pun terasa semakin berat hingga membuatnya memilih untuk memejam sesaat, berharap esok akan  lebih baik.

Asta baru kembali membuka matanya ketika suara azan berkumandang, bersama dengan ketukan dari balik pintu di hadapannya. Pemuda itu mengerutkan kening, tak menyangka akan terlelap dengan posisi duduk seperti.

Butuh waktu berapa detik sebelum ia bangkit dan membuka pintu kamar, setelah mengusap wajahnya. Wajah cantik Giska menyapa pandangannya, Asta menyunggingkan senyum menyambut wanita itu.

"Mau berjemaah, atau di kamar aja, Nak?"

"Jemaah, Bu. Aku siap-siap dulu," jawab Asta yang mendapat anggukan dan senyum indah dari wanita terbaik di rumah itu.

"Jangan lama-lama, ya. Ibu dan yang lain nunggu di mushola."

Asta tersenyum tipis menanggapi kalimat lembut itu. Ia pun lantas bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap, tak ingin orang-orang semakin menunggunya. Tak butuh waktu lama hingga ia telah siap dengan baju koko, sarung, juga pecinya. 

Sama seperti biasa, sudah berkumpul seluruh anggota keluarga Wijaya di sana. Ia pun berdiri di samping Yuta yang sempat menatapnya cukup dalam dan memulai salat subuh berjamaah.

RAHASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang