2. Luka

207 39 55
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Syasya selalu setia menguntai sepi. Menikmati rasa sesaknya sendiri. Maka yang bisa ia lakukan hanya diam. Dan itu berlanjut hingga sekarang. Seolah diam adalah bahasa. Karena hanya itu yang ia bisa.

Senin pagi

Setelah libur kemarin, Syasya harus kembali ke sekolah. Tempat yang paling malas untuk dijejakinya. Bukan soal jam pelajaran yang terkesan membosankan. Namun perbedaan yang menjadikan dirinya selalu diasingkan. Entah apa yang kurang padahal, gadis itu sempurna. Bahkan nyaris sempurna. Apakah ketidakmampuan untuk berbaur harus menjadi alasan untuk dijauhi?

Gadis itu melirik arloji di tangannya yang menunjukan pukul 06.10.

"Nyebelin!" rutuknya.

"Ini terlalu pagi buat hari membosankan selanjutnya, Sya!"

Gadis itu pun bergegas ke taman, sekadar menenangkan pikiran sambil memutar musik dengan pelan. Ia mengeluarkan buku harian dan bolpoin warna merah. Sambil termenung, ia menyoretkan sebuah kalimat di bagian tengah-tengah bukunya.

===========================================

Be brave or stay patient?


===========================================

Syasya pun mengembus nafasnya kasar. Melihat jam di ponselnya, gadis itu terkesiap. Dengan cepat ia melangkahkan kaki menuju kelasnya-XII MIPA 1.

Tok tok tok

Syasya mengetuk pintu kelas dengan tangan gemetar. Hening, tak ada jawaban. Jelas saja, siapa yang mau datang ke sekolah sepagi ini. Ia sedikit merasa baik ketika melihat keadaan kelasnya masih kosong. Gadis itu menarik sudut bibirnya, mengingat setiap perjalanan yang ia lalui di kelas yang luas dan terlihat mewah ini.

Syasya menuju ke tempat duduknya. Bangku di paling belakang barisan kiri. Ia mengeluarkan lap dan cairan penghapus, seperti hari-hari biasanya. Gadis itu tersenyum, melihat kata umpatan yang tercoret di mejanya hari ini tak begitu pedas seperti hari-hari sebelumnya.

I am a stupid person

Syasya tersenyum miring. "Aksi bodoh ini udah nunjukin siapa si Bodoh yang sebenernya, Van!" celetuknya, sambil menghapus kalimat tersebut.

Cupu lo tingkat akut ya?

Syasya terkekeh. "Hm, terus julid siapa yang tingkat akut, Audy!" ledeknya sambil menghapus coretan di mejanya.

Sedih banget jadi lo, pu. Mau gua tambah bebannya lagi gak?

Gadis itu pun tersenyum. "Boleh banget, Bianca. Aku terima semuanya tanpa terkecuali."

Saking Syasya sering menerima perlakuan itu, ia sampai hafal nama-nama orang yang sering mencoret mejanya. Namun dengan sabar, gadis itu hanya diam dan menghapusnya. Lalu esok, tulisan itu ada lagi; dan seterusnya. Tak pernah berhenti setiap harinya.

Angkasa dan ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang