48. Kertas Putih

43 13 29
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Bagi Syasya cinta itu tak lebih dari kertas putih. Hanya memanggil di kala kabut tebal menyelimuti rasa sepi dalam benaknya. Lalu di saat Atha berharap akan ada hiasan indah yang mengisi kekosongan warna, Syasya bisa apa?

Menuliskan sajak tak beraturan atau bahkan menggambar rupa Atha yang paripurna, apa ia bisa? Kertas itu menggetarkan sukma dengan putihnya yang meronta agar sang lakon kembali berbicara.

Namun lihatlah gadis itu tak pandai menampik. Dengan tutur batinnya yang selalu berbisik. Selihai apapun bersembunyi. Akhirnya perasaan itu menguar tak terkendali. Syasya mengakui, ia selalu bahagia jika sedang bersama Atha. Serupa nirwana yang menemukan degupnya.

Hari itu Atha sedang belajar bersama di rumah Syasya. Mereka menyiapkan diri untuk menghadapi ujian di sekolahnya. Syasya sedang berfokus untuk UNBK yang akan dilaksanakan minggu depan. Sedangkan Atha mulai memperbaiki semua nilainya guna mengikuti Penilaian Akhir Tahun pada dua bulan mendatang.

Masing-masing dari mereka sedang terfokus pada bukunya. Syasya sedang mengerjakan soal latihan Matematika. Alasannya, karena ia sadar bahwa dirinya kurang baik dalam bidang itu. Syasya tidak ingin prestasinya sampai menurun. Apalagi ia sering tidak masuk sekolah karena sakit.

Berbeda dengan Atha yang sedang fokus membaca buku geografi. Mata pelajaran yang seringkali ia lewati. Entah, Atha agaknya menyesal telah memilih jurusan IPS. Atha kira semuanya akan mudah. Ternyata tidak semulus yang ada di dalam pikirannya. Lelaki itu terus saja membolak-balik halaman demi halaman buku tebal yang berada di tangan. Membaca setiap kata yang sangat membosankan untuk netranya.

"Huftt!" Atha mendengkus kesal.

Syasya yang masih terfokus pada soal tentang integral substitusi pun memilih untuk mengabaikan Atha. Kepalanya terasa panas ketika melihat deretan angka dan huruf yang berjejer. Syasya terdiam sembari menatap datar bukunya. Sudah berapa menit ia tak menemukan juga pencerahan.

Sedetik kemudian gadis itu pasrah. Ia menutup wajahnya menggunakan buku tersebut. "Kenapa aku payah sih? Kenapa coba soal matematika itu harus ada hurufnya? Kan kalau angka aja jadi lebih gampang," gerutunya.

Atha langsung menoleh. Membelalakan matanya lalu menatap Syasya. "Emangnya tentang apa?"

"Integral."

"Itu kan materi kelas 12, cantik." Atha tertawa kecil.

"Aku beneran gak ngerti, please gimana dong?" rengek Syasya.

"Coba lewatin dulu soal yang itu. Kerjain yang lain dulu aja."

"Sama aja, Tha. Yang lain pun aku kurang paham."

Atha menutup bukunya kemudian beralih menatap buku soal milik Syasya. "Tentang apa yang lain?"

"Frekuensi harapan," jawab Syasya.

Angkasa dan ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang