23. Diagnosa

94 12 8
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Dingin kabut masih menyelimuti bumi tertinggi. Di tempat inilah, sepenuhnya Syasya membenamkan diri. Langit yang tadinya cerah seolah ikut mengerti tentang kalut dalam hatinya. Perlahan, ia ikut murung dan mengundang awan gelap untuk turut bersenang-senang.

Jam dinding menunjukan pukul 9 tepat. Gadis itu bangkit dari tempat tidur dan membereskannya. Namun betapa terkejutnya Syasya ketika melihat bantal yang ia pakai telah dipenuhi oleh noda darah. Syasya meraih pecahan cermin di samping tempat tidur dan melihat di bawah hidungnya terdapat darah yang hampir mengering.

"Gak mungkin," lirihnya sambil menggeleng.

"Gimana bisa aku gak sadar. Ini pasti salah. Tapi ini darah dari mana?" racau gadis itu.

Tok tok tok

"Sayang, kamu udah bangun? Maafin Papa, Nak. Buka pintunya ya ... Ini udah siang, kamu gak sekolah?" lirih Rendra.

Syasya menutup rapat telinganya menggunakan tangan. Seolah tak peduli akan suara ketukan atau permintaan maaf Rendra. Hanya dua alasan yang mendasarinya. Pertama, gadis itu masih kecewa. Dan kedua, ia tak kuat berjalan meski hanya ke depan pintu kamar.

"Sayang, kamu denger Papa? Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Rendra cemas. Syasya hanya tersenyum kecut.

"Kemarin aja Papa gak peduli sama keadaan aku. Jadi buat apa aku ceritain kondisi aku sekarang?" rutuk Syasya.

"Syasya, ini Mama. Buka pintunya, ya. Kami khawatir," timpal Ivana.

Keringat dingin meluncur begitu saja. Syasya tidak bisa menarik nafas panjang. Pandangannya menjadi kabur dan seperti tertutup oleh titik hitam. Tenggorokannya terasa kering, ia pun meraih gelas di atas nakas. Namun, bukannya dapat, gelas itu malah terjatuh. Membuat ketukan di pintu berubah menjadi gedoran keras.

"Sayang, suara apa itu?" tanya Rendra khawatir. Syasya masih saja bungkam sambil memegangi kepalanya.

"Pa, dobrak aja pintunya!" pinta Ivana.

Brak!

Telinga Syasya berdenging seiring dengan pintu yang berhasil didobrak oleh Rendra. Mereka menghampiri putrinya dengan tergesa.

"Ya ampun, Sya. Kenapa bisa gini?" lirih Ivana.

Rendra meraih Syasya dalam pelukannya sambil menangis tersedu. "Maafin Papa, Nak. Maaf," sesalnya.

Syasya merasa semakin kesulitan bernafas. Ivana yang menyadarinya langsung berujar, "Bawa Syasya ke Rumah sakit, Pa. Mama takut terjadi apa-apa sama Syasya."

"I-iya, Ma. Tolong ambilkan syal sama jaketnya. Papa bawa Syasya ke mobil," jawab Rendra sembari membawa Syasya pergi. Ivana pun menyusul setelah melakukan perintah suaminya.

Mobil pun melaju menuju jalan raya. Rendra menyetir, sedangkan Ivana menjaga Syasya di kursi belakang. Hingar bingar klakson memenuhi indera pendengaran. Kendaraan roda empat terlihat berdesakan di jalan raya ibu kota.

Angkasa dan ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang