Aku melangkah menjauh setelah selesai berbicara dengan Wendy yang terlihat sangat anggun dan elegan malam ini. Banyak tamu undangan yang mengantri untuk menyapa sang birthday girl. Aku saja baru dapat kesempatan bicara dengannya tiga puluh menit setelah aku sampai. Makanya aku mempersingkat waktu ngobrolnya supaya Wendy bisa menyapa tamu lain.
Teman – temanku masih berkumpul dan ngobrol di dekat meja bar. Semuanya sudah datang. Lukas yang datang paling akhir tadi. Aku melihat jam di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul delapan malam, sepertinya acara ini akan sangat larut baru selesai. Acara utama tiup lilinnya saja belum dimulai. Aku mengedarkan pandangan dan melihat Kris tengah berbicara dengan seseorang. Seperti sadar sedang kuperhatikan, lelaki itu juga tiba – tiba menoleh padaku.
Saat pandangan kami bertemu, aku memberi isyarat dengan menunjuk dan bergumam tanpa suara bahwa aku ingin keluar sebentar ke kamar kecil. Dapat kulihat Kris mengangguk pelan. Setelah izin ke toilet disetujui, aku langsung berjalan keluar dari tempat acara berlangsung menuju toilet. Aku butuh udara segar. Beginilah kekurangan jadi introvert, berada di pesta dan mingle dengan banyak orang begini rasanya banyak sekali energi yang terserap. Apalagi ditambah melihat orang dari masa lalu yang sangat ingin tidak ditemui.
Sejak melihat Doni dan tunangannya datang tadi, aku berusaha menghindar. Dengan cara tidak melihat atau menghadap ke arahnya atau sibuk ngobrol dengan teman – temanku. Hanna, Elsa dan Krystal sangat suportif. Mereka sangat melindungiku supaya tidak berkonfrontasi dengan Doni. Untunglah sampai saat ini, aku sama sekali belum berhadapan langsung dengan Doni.
Saat aku masuk ke restroom yang berada di paling ujung koridor, semua bilik toilet kosong. Setelah menuntaskan hajat buang air kecil dan keluar dari bilik toilet, aku mendapati sosok perempuan di depan wastafel. Perempuan itu tak lain dan tak bukan adalah tunangan Doni. Dia tengah memakai maskara saat aku keluar.
Terlihat jelas kalau perempuan ini dari kalangan atas. Barang yang melekat di tubuhnya semuanya branded. Harus kuakui juga, perempuan ini sangat cantik. Tubuhnya ramping tinggi, terbalut dress Valentino model lengan sabrina di atas lutut ditambah stiletto Jimmy Choo tujuh senti, sehingga aku terlihat seperti kurcaci di sebelahnya. Rambut panjangnya tergerai indah sampai punggung. Pantas Doni rela meninggalkanku untuknya.
Nana! Stop berpikiran begini! Aku segera menepis pikiran yang tidak – tidak dari kepalaku.
Perempuan ini tentu saja tidak mengenalku. Begitu juga denganku. Aku hanya tahu dia sebagai tunangan Doni. Namanya pun aku tidak tahu. Tapi dia tersenyum ramah saat aku berdiri di sebelahnya untuk mencuci tangan di wastafel.
"Sapto Djojokartiko?"
"Hah?" Aku sontak menoleh dan kaget saat dia mengajakku bicara.
"Baju yang kamu pakai, dari Sapto Djojokartiko kan?" Tanyanya ulang.
"Oh iya benar dari Sapto Djojokartiko," jawabku canggung.
"Desainnya khas. Aku suka banget sama rancangan baju – bajunya. Tapi aku gak kebagian sama series yang ini. Ini Spring - Summer Collection tahun lalu kan?" Tanyanya antusias.
"Iya. Koleksi Spring – Summer JFW tahun lalu," Aku menjawab sambil tersenyum.
"Hebat lho kamu bisa kebagian. Aku sampe ngubek – ngubek di seluruh offiline sama online store-nya masih aja gak dapet," Ujarnya sambil mengerucutkan bibir cemberut.
Aku hanya nyengir saja sambil me-retouch lipstick. Bingung mau menjawab apa. Masa aku mau bilang kalau Bunda kenal dengan sang desainer dan langsung nge-tag baju ini buat dibeli tepat setelah runway di JFW selesai. Kan terkesan jumawa untuk di-share ceritanya dengan stranger.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEORGINA
RomansaIni cerita tentang Georgina. Nana, begitu panggilannya, adalah gadis ceria dengan 'resting bitch face'. Ekspresi garang menjadi ciri khasnya. Sehingga ia sering disangka berwatak dingin, jutek dan galak. Tapi dibalik senyum dingin dan tatapan tajam...