O.8 × Nostalgia

118 29 2
                                    

Jauh sebelum masa sekolah tingkat atas dimulai, Banyu dan Yumna sempat berada di satu gedung yang sama saat bimbingan belajar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jauh sebelum masa sekolah tingkat atas dimulai, Banyu dan Yumna sempat berada di satu gedung yang sama saat bimbingan belajar. Kala itu, Yumna masih punya rambut pendek, seukuran telinga. Pipinya tembam dan jepit rambut bermacam bentuk nggak pernah absen menghias di kepala.

Perkenalan awalnya dimulai dari sana. Ketika hujan, Yumna siaga di pintu depan bangunan bimbel. Payungnya ada di tangan, tapi urung melangkah karena melihat seseorang duduk murung di sisi lain teras.

Jadwal belajar kelas akhir Sekolah Dasar memang lebih petang selesainya. Maka ketika menemukan langit sudah berkamuflase seperti pukul delapan malam karena terteguk mendung, Yumna tahu kewajibannya untuk lekas pulang. Nggak jauh. Yumna cuma perlu jalan kaki lima menit.

"Hai."

Tapi apa, Yumna justru mendekat. Memutuskan menyapa meski tahu risiko pahitnya adalah dapat pandangan aneh karena sok kenal.

"Yumna." Dengan tenang ia memperkenalkan diri. Hendak mengulurkan tangan pada awalnya, tapi batal waktu sadar telapaknya basah.

Banyu kecil anak yang baik, Yumna nggak bisa menilai dalam sekali lihat, tapi dia punya firasat demikian. Mereka sempat beberapa kali di kelas yang sama saat try out dan belajar gabungan.

Sejauh rentang waktu yang Yumna tahu, Banyu mungkin nggak terlalu menonjol. Cenderung pasif dan cuma mau ngobrol bareng anak-anak yang dari awal satu kelas. Salah satu yang Yumna paling ingat adalah anak perempuan yang punya lesung pipi dalam sekali di ruas kanan. Namanya siapa, entah. Yumna belum tahu.

"Pernah satu kelas," kata Yumna, menemukan hening nggak akan putus kalau dia nggak bersuara.

"Hu-um." Ini mungkin bukan yang dimaksud Yumna, tapi Banyu tetap menjawab seakan gadis cilik itu menggelontorkan tanya.

"Rumah aku deket, lari juga sampai. Mau pinjam payung aku?"

Bunda sering khawatir. Oleh sebab itu, Yumna mengira Bunda Banyu juga bakal nggak kalah risau kalau dia nggak segera pulang.

"Nggak papa." Yumna meyakinkan. "Nanti kembaliin kalo udah nggak hujan."

"Tapi besok nggak ada jadwal les." Dia mengutarakan resah yang menghalangi hastanya menerima sodoran payung.

"Kan bisa lain hari. Senin minggu depan, Rabu minggu depan, minggu depannya lagi, minggu depan depannya lagi."

Banyu diam menyembunyikan jari-jarinya di balik saku jaket merah yang dipakai sore itu. Bimbang.

"Nama kamu?" tanya Yumna sekali lagi. Yakinnya, di percobaan kedua ini, dia nggak akan gagal.

"Bay!"

Seruan lantang itu mengundang tolehan dari dua sosok yang semula berhadapan. Seseorang datang di bawah payung bening motif bunga matahari, berjalan mendekat sambil menenteng tas raket. Posturnya tinggi dan matanya tajam. Sekilas mirip Banyu.

Terburu-buru Banyu melangkah menghampiri si pemegang payung. Dengan senang hati menjawab uluran tangannya dan nggak menolak ketika pundaknya didekap menghindari tetes air.

Yumna tertegun di tempat. Matanya berkedip cepat beberapa kali. Lengkung pelangi terbalik di wajahnya hampir menghilang kalau saja kepala Banyu nggak tiba-tiba menoleh.

Hal yang nggak pernah Yumna duga, ketika Banyu tanpa aba meneriakkan nama di tengah desing hujan yang menderas. Nggak risi sama sekali dapat delikan aneh dari si pemegang payung. Telunjuknya ragu-ragu menuding ke diri sendiri. "Banyu," ulangnya, lebih pelan.

Yumna mengerti. Hal itu dibenarkan lewat cengirannya yang makin lebar. Bahkan, tangan kanannya nggak segan-segan melambai ke udara; berseru nggak kalah lantang, "Sampai ketemu Senin minggu depan, Banyu! Hati-hati di jalan!"

Yumna merasakan usapan kecil jatuh mengenai punggung tangannya yang menyatu di atas paha. Mata kecil di depannya menatap dalam sekali. Ketika sebuah payung berlukis bunga matahari kecil-kecil diulurkan, saat itu Yumna memulai nostalgianya di Minggu sore.

"Ya?" Yumna bertanya pelan.

"Mau ke sana."

Sekumpulan anak kecil berlarian. Tampak mengerubungi ayunan dan perosotan secara bergantian.

"Ayo." Tubuh Yumna berdiri, tapi si anak kecil menggeleng kecil.

"Sendiri," ujarnya.

"Huh?"

"Sendiri." Ucapan tegas yang nggak terbantah. Meski Yumna rindu pipi Ash yang suka menggembung kapanpun merasa kesal, Yumna putuskan buat nggak mengusik keinginan anak itu sekarang.

"Oke, Teteh liatin dari sini."

Sorakan disertai acungan tangan ke udara adalah bentuk selebrasi yang nggak pernah gagal membuat Yumna tersenyum.

Ash cepat-cepat beranjak, pergi setelah memastikan payung kuningnya ada di tangan Yumna. Langkah kaki kecilnya terjun mengenai genangan dangkal yang nggak akan bikin kaki terperosok atau kotor. Tawa riangnya hadir.

Semenyenangkan itu jadi anak-anak.














...

dan, apa?

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang