O.3 × Intervensi

215 40 28
                                    

Ada sekiranya dua hal terbilang nggak wajar yang selalu Banyu pertanyakan kebenarannya selama hampir tiga tahun mondar-mandir di Bayanaka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada sekiranya dua hal terbilang nggak wajar yang selalu Banyu pertanyakan kebenarannya selama hampir tiga tahun mondar-mandir di Bayanaka. Pertama, tentang bahan gorengan di kantin yang sungguhan naik atau nggak. Kedua, Yumna dan cinta berlebihannya pada kucing kumal penunggu gerbang.

Banyu nggak habis pikir. Setiap kali dapat kesempatan pulang awal, alih-alih bergegas, cewek itu justru lebih memilih menguyel-uyel kucing kampung yang sudah terlampau sering dapat perlakuan nggak menyenangkan dari para penghuni Bayanaka.

Kalau mau jujur, Yumna bukan satu-satunya orang yang senang mengajak main kucing yang telah berkali-kali jadi bapak biologis kucing kecil di sekitar situ. Cuma, sampai sekarang hanya Yumna yang berhasil membangkitkan juntaian 'kenapa' di pikiran Banyu.

Contohnya seperti, "Kenapa nggak lo adopsi aja?" Jauh sebelum hari ini datang, Banyu pernah bertanya.

"Bunda nggak suka kucing." Dan itu jawaban Yumna.

"Tapi lo kayaknya suka, tuh."

Bibir Yumna tertarik melukis senyum. Namun, Banyu yakin ucapannya bukan tipikal frasa yang bisa menghadirkan setoreh lengkungan di wajah. Maka dari itu, bisa dipastikan Yumna cuma kebetulan mesem karena kucing yang dia beri nama Kelabu itu makan dengan lahap.

"Enggak juga."

Terbersit tudingan bahwa Yumna berbohong di kepala Banyu. Mau dilihat dari manapun, Yumna tampak sayang pada kucing yang kini manja dibawah usapan hastanya.

"Gue cuma suka yang lucu-lucu."

Banyu menautkan alis. Jawaban yang sangat Yumna.

"Berarti sama gue juga suka?" Banyu berkelakar.

"Pastinya." Banyu terdiam. "Kalo lo punya empat kaki, berbulu, dan bisa mengeong."

Ah, Yumna. Padahal Banyu hampir punya harapan.

Untungnya, waktu cepat berlalu setelah itu. Masa terus bergerak sampai Banyu bertemu satu lagi ujung pekan. Menginjak sore, suasananya mirip seperti momen di gapura sekolah bareng Yumna hari itu. Mendung, tapi nggak hujan.

Ketika melihat kilat petir menyambar dua kali, Banyu tersadar. Ada dua orang yang mengamatinya seperti barang langka yang bisa dicuri sewaktu-waktu.

"Apaan?"

Banyu pasti terlalu dalam mengorek memori lampau. Sampai-sampai, nggak dengar sucuil katapun yang disampaikan Yuda. Hingga ketika sikutan pada pinggangnya menghadirkan nyeri. Menemukan Chelsea menjadi pelaku, Banyu berdecak.

"Kenapa?" tanya Banyu. Barangkali, bisa mengundang amarah dari yang disasar kalau saja orang itu bukan Yuda.

"Tema." Chelsea secara sukarela menjawab. Hm, nggak biasanya. "Please, proyek kita nggak jalan dari lima hari yang lalu."

Banyu nggak paham. "Ya terus?"

"Heran gue sama lo, Bay. Kayak nggak ada tanggung jawabnya."

"Kok jadi kayak gue yang salah?"

"Emang, kan?"

"Tahan," sela Yuda, sebelum Banyu menyahut lagi. "Sebelum makin sibuk, nggak ada salahnya mikir konsep dari sekarang."

"Dan emang itu tugas tim kreatif sejak awal," bilas Chelsea sarat penekanan.

"Oh." Banyu meraih pulpen Yuda yang teronggok di dekat buku tebal SBMPTN. "Gue tau kalo itu. Tim 'kan, bukan individu."

Kepala Chelsea seperti mendidih. Geramnya bukan main. "Nyesel gue sekelompok sama lo, Bay," ungkapnya, nggak perlu repot-repot mengulang agar Banyu bisa lebih tersinggung lagi.

"Sama, gue juga."

"Udahlah." Yuda melerai. "Udah setengah jalan."

"Apanya?" tantang Chelsea. "Kita bahkan belum mulai ngapa-ngapain."

Yuda tengah ada di titik di mana bingung harus bersikap seperti apa lagi. Kenyataannya, minggu lalu, Banyu dan Chelsea sendiri yang memutuskan buat satu kelompok. Juga, mencatut nama Yuda tanpa izin sebagai anggota ketiga. Selang sehari, mereka adu mulut hebat. Selisih paham dalam diskusi itu hal biasa. Normal. Yuda tahu itu. Tapi berantem untuk hal yang nggak penting sekalipun? Ck. Keputusan Yuda untuk bergabung pasti bakal dia sesali.

"Masih ada limabelas menit," ujar Yuda, menatap Chelsea yang langsung membuang muka. Seperempat jam sebelum les sore itu dimulai. "Hari ini aja."

"Hanya kalo Banyu bisa diajak kerja sama," kata Chelsea.

"Gue selalu bisa."

"Bay, lo ngelamun sepuluh menit yang lalu!"

Mulut Banyu terkatup. Baiklah, baiklah. Kali ini, memang salah Banyu.

"Oke, sorry." Banyu memandang Chelsea tepat di mata. "Damai?"

Chelsea nggak menjawab, tapi tangannya secara cepat mulai mengeluarkan binder dan alat tulis ke permukaan meja. Wajahnya masih sekusut kain yang ditumpuk paling bawah, tapi melihat cewek itu nggak beranjak, Banyu tahu maafnya diterima.

"Lain kali, awas lo, Bay."

"Lain kali, awas lo, Bay." Banyu meniru dengan lagak sengak. Kemudian bangkit berdiri, menghindari usaha Chelsea menimpuk pakai buku koding.














...

gue kalo punya temen modelan banyu juga bakal kesel banget sih.

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang