1.8 × Masih Abu

116 31 2
                                    

Bukan sesuatu yang janggal untuk datang lebih pagi di hari Senin yang sibuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bukan sesuatu yang janggal untuk datang lebih pagi di hari Senin yang sibuk. Apalagi, kalau harus bawa pernak-pernik praktik sendirian. Terkadang, Banyu benci fakta bahwa rumahnya terletak paling dekat kedua dari sekolah dibanding yang lain. Karena alasan itu, rumah Banyu alih fungsi jadi tempat penitipan perkakas shooting.

Gerakan Banyu meletakkan kardus mengudara mengisi lengangnya kelas. Menghasilkan debum yang nggak bisa dikategorikan pelan. Sebagai satu-satunya makhluk bernapas di tempat itu, Banyu merasa bebas melakukan apa yang dia mau.

Termasuk, menuju bangku Yumna dan meletakkan sekotak susu jahe.

Suara gesekan alas kaki dengan lantai dari kejauhan secara paksa membawa Banyu buru-buru menjauh dari tempat Yumna biasa duduk. Pura-pura mengeluarkan barang dari kardus cokelat bekas minuman gelas, Banyu dengar langkah yang mengusik kegiatannya berhenti saat telah menjangkau pintu.

Segera Banyu menujukan manik legamnya searah barat daya. Dengan alis terangkat, ia mengangkat tangan ragu. "Hai?" sapaan yang buruk, mungkin. Banyu bisa melakukan yang lebih baik jika saja nggak ada sorot kelewat kaget mengarah persis kepadanya.

"Ya ampun." Terdengar hela napas lega, disusul pantikan lengkung di sudut bibir setelah itu. "Gue kira bukan orang."

Banyu seharusnya tertawa, tapi nggak. Hari masih terlalu pagi, bukan saat yang sempurna buat menggelar gelak. Maka sebagai gantinya, dia menggeleng. "Kacau lo, Yum."

Sebaris gigi rapi dan sepasang mata yang melebur hilang adalah apa yang Banyu lihat di kesempatan berikutnya. Ini bakal dangdut, tapi biar. Asumsi Banyu, karena Yumna, matahari sekarang pasti minder karena kalah cerah.

"Jadi survei lokasi hari ini?" Yumna berjalan ke mejanya tanpa melepaskan pandang dari punggung Banyu yang mulai sibuk memindahkan perlengkapan ke loker kelas.

"Hm, biar cepet kelar."

Yumna sepakat. Waktu yang dimiliki anak tingkat akhir nggak sebanyak sebelumnya. Setelah menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan dua bulan lalu, mereka langsung disodori serentet tugas akhir. Hal bagus jika bisa menyelesaikan lebih awal.

"Lagi?" Retina mata Yumna yang semula memerangkap keberadaan sekotak susu di sudut mejanya berubah menghunus ke Banyu yang juga balas menatap. "Makasih."

Yumna tersenyum, dan Banyu juga. Kemudian hening. Kemasan susu itu Yumna buka dan minum isinya. Rasa hangat yang selalu berhasil menggelitik tenggorokan kembali menyapa leher Yumna pagi ini.

"Sabtu nanti berangkat ke Bogor sama siapa?" Di tengah rayapan senyap, Banyu memecah suara. Sekarang, Yumna sepenuhnya memutar tubuhnya menghadap belakang, menumpu dagu pada punggung kursi.

"Yuda."

"Oh." Jawaban yang hampir bisa Banyu duga, jadi responsnya tergolong cepat. "Gimana keadaan Chelsea?"

"Agak kurang baik," Yumna jujur, "semalam dia nginep di rumah gue, tapi tadi pagi dia langsung pulang dijemput sopirnya."

"Dia sebenernya kenapa?" Banyu nggak tahan. Semalam Yumna cuma bilang Chelsea kabur dari rumah, lalu nggak sengaja ditemukan Banyu. Dia masih nggak tahu apapun padahal berjam-jam bareng Chelsea. Maka kalau ada orang yang paling bingung di situasi ini, dia pasti Banyu.

Yumna mengulum bibir, membiarkan perhatiannya pelan-pelan tersita pada sepatu. "Kayaknya lebih pas kalo Chelsea sendiri yang cerita," katanya.

Banyu membuang napas kasar. Oke, berarti itu sama saja dengan Banyu nggak akan pernah tahu.

"Eh—ngapain?" Yumna kaget. Meyakini apa yang Banyu lakukan—tiba-tiba datang dan bersila di lantai dekat kaki meja Yumna—adalah hal yang nggak biasa.

"Main game."

"Di sini?"

Banyu mengangguk sekenanya. Sudah login, tinggal mencari lawan.

Minuman di tangan masih sisa, tapi Yumna kelihatan nggak mau buru-buru menghabiskan. Yang ada, dia menempelkan pipinya ke permukaan meja. Menghadap Banyu yang serius menilik layar gawai.

"Bentar."

Tangan Yumna terulur ke surai hitam Banyu.

"Apaan?"

Banyu memegang kepala. Di titik yang sama, nggak sengaja jarinya menyentuh permukaan tangan Yumna. Sebuah aliran listrik kecil seperti menjalar ke seluruh tubuh Banyu. Dari ujung jari hingga berakhir di bagian kiri dada. Dentum kecil yang semoga yang didengar Yumna.

"Potongan isolasi." Yumna menariknya dari kepala Banyu. "Kok bisa di situ?"

Itu pasti sisa isolasi yang tadi Banyu cabuti dari dinding dapur. Bunda yang minta tolong Banyu melepas sisa isolasi sebelum sarapan. Sayangnya, kalimat itu nggak mau keluar dari bibir. Otak Banyu mendadak nggak bisa dipakai memproses sesuatu.

Deham yang datangnya dari arah pintu berhasil mengurai gugup. Akhirnya. Siapapun dia, terima kasih.

"Yud," sapa Yumna. Cowok itu mendekat, mengawasi Banyu dan Yumna bergiliran. Kemudian, meletakkan amplop terlipat ke meja Yumna.

"Chelsea nggak masuk, sakit."
















...

banyu kalo abis produktif dua jam bareng pak hardi tercinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

banyu kalo abis produktif dua jam bareng pak hardi tercinta.
somehow tampak tergapai 👀

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang