1.2 × Cokelat

127 32 7
                                    

Lucu yang nggak bisa ditertawakan adalah fakta bahwa ini masih Senin, tapi Banyu sudah mengawali pekan dengan amat ajaib

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lucu yang nggak bisa ditertawakan adalah fakta bahwa ini masih Senin, tapi Banyu sudah mengawali pekan dengan amat ajaib.

Nah, mari berpikir. Apa mungkin ini jadi salah Banyu, saat tujuannya adalah menghindari amukan Chelsea, tapi malah menubruk orang nggak bersalah di parkiran? Atau mungkin, bisa jadi iya. Sebab pada akhirnya, Banyu dapat karma instan kurang dari sepuluh menit setelah kabur.

Banyu suka es cappucino, tapi tentu berubah pikiran jika minuman itu justru tumpah mengenai seragam. Mengeluh pun rasanya nggak berguna. Banyu sudah jadi contoh konkret istilah sudah jatuh dan tertimpa tangga plus segedung-gedungnya.

Mengganti minuman si korban keteledoran, itu yang pertama. Kedua, harus menghadapi kenyataan bahwa, alih-alih putih mentereng, kini hampir seluruh bagian depan seragamnya lebih mirip warna tas Sandi—cokelat pudar.

"Ck!" Banyu berdecak. Sudah hampir bisa diperas kemejanya karena dibasahi air. Namun, noda hampir selebar dada itu nggak berkurang sedikit pun. Tentu. Memang nggak akan segampang itu hilang.

"Lo bawa seragam cadangan, nggak?" Banyu mendongak, melihat pantulannya di cermin kamar mandi dan kembali merutuk. Warna cokelatnya menempel!

"Bawa jaket doang," jawab Yuda. Itu, sih, Banyu juga bawa.

Dari seberang tempat Banyu membersihkan seragam, Yuda menyandarkan punggung pada dinding. Diam, memperhatikan atasan Banyu sudah sekusut kain bekas karena terlalu keras dikucek.

Habis sudah.

"Pura-pura sakit aja apa gimana, ya?"

Entah cuma perasaan Yuda atau sungguh memang begitu, akhir-akhir ini jalan pikir Banyu sudah sebelas dua belas miripnya dengan Sandi. Solusi yang ditawarkan benar-benar nggak menyelesaikan masalah sedikit pun.

Mengetukkan ujung sepatu ke permukaan lantai, memasukkan masing-masing hasta dalam saku celana. "Pake baju olahraga aja, coba. Abis olahraga juga langsung produktif," kata Yuda.

Oh, betul juga. Masuk akal. Saran Yuda sangat bisa diterima.

Maka setelah memutuskan untuk melepas saja atasan, Banyu berakhir keluar dengan kaus putih tipis. Mulai dari langkah pertama dan seterusnya, nggak henti-hentinya Banyu merapal agar nggak mendadak berjumpa Pak Hardi. Bahkan kalau beruntung, semoga bisa sekalian lolos dari Bu Yanti.

"Haish!" Banyu terlonjak di sudut koridor. "Gue kira Bu Yanti."

Cekatan. Bahkan belum lagi ada tanya diucap, tangan Chelsea tahu-tahu terulur memberikan kemeja.

"Punya siapa, nih?"

"Punya lo."

Banyu sudah menerima benda dalam lipatan klimis itu, tapi bingungnya masih setia. "Yang jelas ngomongnya. Gue aja nggak bawa seragam cadangan."

"Ah, bawel. Itu gue beli buat lo. Masih kurang jelas?"

Satu lagi pertanyaan. Apa mungkin terlalu banyak makan membuat otak sulit berpikir? Karena—serius, deh. Banyu butuh waktu ekstra hanya untuk memahami kalimat itu gue beli buat lo.

"Kok lo baik? Tumben."

"Sorry?" Chelsea memasang raut sanksi. "Orang kalo dibantu biasanya ngomong terima kasih."

Banyu mengangguk-angguk nggak acuh. "Iya, deh. Makasih."

Setengah hati Banyu memutar tumit guna kembali ke ruang ganti. Nggak lupa, membawa serta atasan pemberian Kharisma Chelsea yang baiknya luar biasa hari ini. Duh, coba saja setiap hari begini.

Di lain sisi, Yuda yang sedari awal hanya mengamati, tergelitik buat bertanya. Iseng saja sebetulnya. Tapi melihat anomali pada air muka Chelsea, Yuda sekarang berada di ambang yakin bahwa pertanyaannya memang agak melewati batas.

"Jadi, yang lo maksud itu Banyu?"



















...

halo!
7.24 am saat ini mengudara. gabut aja, sih, sambil nunggu kelas. hari ini padet, jadi yah, daripada lupa.

Lalu, TitikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang